Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Inilah TN Alaspurwo, Salah Satu Situs Geopark Nasional di Banyuwangi

Jarak banteng dengan pengujung yang datang tidak kurang 100 meter dan hanya dibatasi pagar kayu setinggi kepala manusia dewasa. Banda menjelaskan jika siang itu ada sekitar 47 banteng yang berkumpul di savana Sadengan.

Jika dalam keadaan sepi, banteng juga masuk ke wilayah menara pengawas dan hanya berjarak 1,5 meter dari manusia. Selain itu ada beberapa merak juga terlihat sedang mencari makan di sekitar Sadengan.

Sadengan adalah salah satu feeding ground di TN Alaspurwo. Feeding ground di TN Alaspurwo dibuat di tiga titik pada tahun 1975 untuk meningkatkan populasi banteng yaitu di Payaman seluas 25 hektar, Pancur seluas 5 hektar dan Sadengan seluas 75 hektar.

Namun feeding ground di Payaman gagal karena tidak ada ada sumber air dan hanya menjadi jalur lintas satwa, sedangkan di Pancur berubah fungsi menjadi camping ground.

Pada tahun 1978, Sadengan ditetapkan sebagai feeding ground melaui SK Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam. Pembukaan lahan di Sadengan awalnya menggunakan sistem tumpang sari.

"Dulu hutan dataran rendah. Ada savana seluas 6 ribu hektar namun beralih menjadi hutan jati," kata Banda.

Pada tahun 1999, Sadengan juga terinvasi eceng-eceng dan kerinyu sehingga luasan berkurang hingga 13 hektar dan pada tahun 2003, padang savana yang tersisa hanya 2 hektar.

"Sejak tahun 2008 kita lakukan pembinaan habitat melalui eradikasi tumbuhan invasif seperti jenis johar, trenyu dan enceng-enceng hingga hari ini," kata Banda.

Setelah melakukan eradikasi tumbuhan invasif, populasi banteng di Sadengan pada tahun 2014 mencapai 126 ekor dari sebelumnya pada tahun 2009 hanya 61 ekor.

Saat ini luasan rumput sebanyak 55 hektar dari total Sadengan seluas 84 hektar. Sementara tumbuhan invasif Johar seluas 22 hektar dan sisanya jenis Krinyu.

Jumlah Banteng Terus Menurun

Banda menjelaskan jumlah banteng yang ada di Sadengan mengalami penurunan sejak tahun 2014 yang awalnya 126 ekor menjadi 92 ekor di tahun 2017.

Penurunan jumlah banteng di Sadengan disebabkan banyak faktor antara lain peningkatan jumlah ajag di Sadengan yang memangsa banteng. Selain itu berkurangnya jumlah satwa yang menjadi mangsa ajag serta tingkat kelahiran banteng yang rendah.

"Satu kelompok ajag terdiri dari 6 sampai 8 ekor ajag. Ini semacam rantai makanan jika ada satu yang rusak maka lingkaran rantai makanan akan berubah," jelas Banda.

Aktivitas banteng di Sadengan mengikuti musim. Bahkan banteng bisa terpantau beraktivitas di Sadengan mulai pagi hingga pagi lagi karena di Sadengan tersedia sumber pakan dan air.

Bukan hanya rumput, kulit pohon dan dedaunan tertentu tapi juga rebung yang tumbuh sekitar bulan Januari dan Februari.

Jumlah banteng akan terlihat banyak saat musim kemarau karena cadangan air di dalam hutan sulit ditemukan sehingga mereka semua turun ke Sadengan untuk mencari sumber air.

Sementara untuk kematian banteng, menurut Banda disebabkan karena berusia tua, faktor alam seperti predator ajag dan cuaca, serta salah makan.

"Banteng jika salah makan bisa masuk angin dan menimbulkan kematian. Namun sampai berapa usia tertua banteng masih belum ada penelitian khusus. Biasanya kita hanya mengira-ngira usia dari bentuk tanduk," jelas Banda.

Melihat Taman Nasional Alaspurwo dari Udara

Selain Sadengan, aktivitas hewan liar juga bisa dipantau di blok Jatipapak Resort Kucur TN Alaspurwo. Bahkan di blok Jatipapak juga terdapat pesawat kecil yang bisa digunakan untuk memantau TN Alaspurwo dari atas.

Noviani Utami, kepala SPTNI wilayah II Muncar kepada Kompas.com menjelaskan runway ‘airstrip’ dibuat pada tahun 2012.

Setelah pembukaan runway tersebut, ditemukan banyak kotoran banteng di sekitar landasan sehingga dibuat empat bak minum satwa dan pemasangan kamera pada tahun 2015 dan terekam ada beberapa satwa liar yang datang ke ‘airstrip’ antara lain macan tutul, king kobra, elang brontok, rusa, babi kutil dan banteng.

“Untuk banteng yang terlihat atara 40 hingga 12 ekor dalam sekali pengamatan namun yang terbanyak adalah saat malam hari. Jika siang atau sore jarang ada,” jelas Noviani.

Pesawat kecil yang ada di blok Jatipapak, menurut Noviani, sangat bermanfaat untuk memantau keadaan taman nasional dari atas terutama di wilayah yang sulit terjangkau.

Selain itu juga untuk mendeteksi kebakaran hutan dari udara, melihat kerapatan hutan dan memantau kerusakan hutan karena pembalakan liar serta sangat efektif untuk melihat apakah banteng di Sadengan apakah satu kelompok dengan banteng yang ada di Jatipapak.

Selain untuk patroli, pesawat kecil tersebut bisa dimanfaatkan oleh para peneliti karena untuk mengitari taman nasional menggunakan pesawat hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam.

Perawatan pesawat tersebut juga relatif murah karena menggunakan bahan bakar pertamax dan satu jam menghabiskan sekitar 15 liter.

Pada tahun 2019, juga akan dibangun beberapa fasilitas pendukung untuk para peneliti karena TN Alaspurwo akan menjadi pusat edukasi bidang konservasi.

“Pengunjung boleh datang tapi khusus untuk pesawat hanya digunakan untuk pemantauan dan penelitian tidak untuk disewakan kepada pengunjung,” jelasnya.

TN Alaspurwo telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO. Selain itu, TN Alaspurwo juga menjadi salah satu situs yang diajukan sebagai geopark nasional di Banyuwangi selain blue fire di Gunung Ijen dan Pulau Merah.

Situs Goa Istana yang berada di TN Alaspurwo menggambarkan bahwa daerah tersebut adalah laut dangkal yang mengalami proses geologi hingga menjadi daratan. Di TN Alaspurwo juga menjadi rumah bagi 700 flora, 50 jenis mamalia, 320 burung, 15 jenis amfibi dan 48 jenis reptil.

https://travel.kompas.com/read/2018/12/02/161800227/inilah-tn-alaspurwo-salah-satu-situs-geopark-nasional-di-banyuwangi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke