Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kopi Indonesia Bisa Harum di Kancah Dunia, asal...

Masa depan kopi Indonesia di dunia begitu cerah. Hal tersebut diungkapkan oleh Dadang Hendarsyah, selaku Unit Head da ICS Manager PT. Olam Indonesia Sunda Cluster.

Menurutnya, sekarang banyak penikmat kopi Indonesia yang menyukai biji kopi dari Indonesia.

"Kopi sudah jadi style, kebutuhan. Pada 2019, kenaikan peminum kopi di Indonesia mencapai 10 persen. Ke depannya lebih ramai lagi," ujar Dadang pada Kompas.com, Selasa (10/3/2020).

"Apalagi banyak penikmat kopi di Indonesia yang suka biji kopi dari Indonesia seperti Sumatera, Aceh Gayo," lanjutnya.

Menurut Dadang, kondisi ini sudah jauh lebih baik dari bertahun-tahun lalu. Ia mengungkapkan, dahulu banyak petani yang tidak mengetahui cara bertani kopi yang baik untuk menghasilkan produk yang berkualitas.

Beberapa masalah tersebut hingga kini masih berusaha diselesaikan.

Kekurangan dan tantangan

Menurut Dadang, petani Indonesia kebanyakan masih menanam biji kopi jenis robusta. Biji kopi ini dianggap memiliki kualitas di bawah arabika, sehingga harganya pun lebih murah.

Dadang menuturkan, banyak petani yang menanam biji robusta karena perawatannya yang mudah dan tahan terhadap hama.

"Di Indonesia arabika masih jarang. Arabika jadinya lebih mahal karena biji kopinya diperlakukan berbeda. Dari penanaman, perawatan, pemetikan, sampai proses produksi berbeda," tutur Dadang.

"Kalau arabika harus di-pulping, difermentasi terus dijemur sampai kering, dibuka kulitnya, lalu dikeringkan pakai matahari. Tidak boleh pakai oven seperti robusta karena dia kulitnya sensitif," lanjutnya.

Para petani kopi beberapa tahun yang lalu masih belum mengerti proses produksi biji kopi yang baik dan benar seperti apa. Salah satunya dicontohkan Dadang, banyak petani yang asal panen biji kopi.

Menurut Dadang, hal itu sangat mempengaruhi kualitas serta harga dari biji kopi yang dipanen tersebut.

"Itu yang menyebabkan cita rasa kopi tidak bagus. Banyak perusahaan atau koperasi juga yang akhirnya beli kopi dengan harga murah pada petani karena kualitasnya tidak baik," jelas Dadang.

Seharusnya, menurut Dadang, panen dilakukan setiap 3-6 bulan sekali. Itu pun hanya biji merah yang seharusnya diambil.

Hal tersebut dilakukan untuk menjaga agar biji kopi tetap berkembang sehingga petani bisa panen lagi di masa yang akan datang.

Tak itu saja, perhatian petani pada kebun kopi juga tak begitu besar. Seringkali para petani tidak melakukan perawatan yang intens untuk kebunnya. Mereka hanya datang saat waktu panen saja.

Hal yang sama juga diungkapkan William Heuw. Owner dari Kopi Kangen ini mengungkapkan, petani sejauh ini banyak yang hanya peduli untuk menjual seluruh biji kopi yang ada.

Mereka akhirnya menjual dengan harga murah.

Selain ketidaktahuan petani tentang tata cara bertani kopi yang benar, Dadang juga mengungkapkan masalah lain di industri kopi Indonesia adalah harga.

Kopi Indonesia seringkali lebih mahal dari kopi produksi negara lain, misalnya Kolombia dan Brazil.

Hal itu terjadi karena produksi biji kopi Indonesia yang tidak sebanyak negara tersebut, sehingga biji yang diekspor pun punya harga relatif mahal.

"Harganya tidak kompetitif. Soalnya barang kita sedikit, harga pasti jadi mahal. Jadi sering ketika negara lain menurunkan harga, kita malah stabil atau malah petani menaikkan harganya," ucap Dadang.

Rencana Jangka Panjang

Untuk mengatasi tantangan tersebut, berbagai pihak sudah mulai melakukan aksi penyuluhan atau pelatihan pada para petani untuk bisa menghasilkan produk biji kopi yang bisa bersaing.

Menurut Dadang, pihaknya sudah sering melakukan penyuluhan pada petani di Jawa Barat khususnya daerah Garut, Ciwidey, Bandung Utara, dan Pangalengan.

"Pertama, kita harus perbaiki dari kualitas dulu sebelum produktivitas. Kualitas diperbaiki, adakan penyuluhan bahwa yang dipetik itu biji merah saja," kata Dadang.

:Supaya bulan depan mereka bisa panen lagi karena masih ada biji kopi yang belum matang kemarin tidak dipetik," lanjutnya.

Cita rasa kopinya membaik karena tidak tercampur dengan biji hijau dan busuk. Setelah cita rasa dari biji kopi yang dihasilkan sudah membaik, baru terlihat peningkatan dalam hal harga.

Harga kopi meningkat, distributor kopi pun mulai berani membeli biji kopi dengan harga yang sedikit mahal.

"Meningkatkan produksi itu lebih banyak dengan cara memberi pelatihan soal pupuk kompos, pengaplikasian pupuknya, pemangkasan pohon seperti apa," kata Dadang.

"Itu larinya ke produktivitas, untuk bisa menghasilkan biji lebih banyak," lanjutnya.

Menurut Dadang, hingga kini penyuluhan dan pelatihan yang mereka berikan sudah memberi hasil yang cukup signifikan. Kini dari segi kualitas dan kuantitas biji kopi yang dihasilkan petani di Jawa Barat, sudah terdapat peningkatan sekitar 60-70 persen.

Masa depan kopi Indonesia masih sangat cerah mengingat pasar Indonesia yang menikmati kopi semakin bertambah setiap tahunnya.

Belum lagi dengan banyaknya kedai kopi baru yang menjamur yang juga turut serta memberikan edukasi pada para konsumen mengenai kopi.

"Indonesia punya pasar kopi yang besar banget. Kedai kopi juga sudah mulai mengedukasi. Misalnya barista sudah mulai aktif dengan banyak kedai kopi berkonsep open bar," ujar William pada Kompas.com, Selasa (10/3/2020).

"Di mana barista dengan meja mesin kopi dan alat manual brew ini bisa dilihat atau bahkan berseberangan dengan pelanggan. Jadi ketika baristanya lagi bikin kopi mereka bisa saling ngobrol soal kopi," lanjutnya.

Walaupun menurut William jumlah orang yang bisa mengedukasi soal kopi masih belum berimbang dengan konsumen yang perlu diedukasi, tapi hal ini mulai secara bertahap memberikan harapan untuk industri kopi.

https://travel.kompas.com/read/2020/03/11/100500227/kopi-indonesia-bisa-harum-di-kancah-dunia-asal-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke