Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masyarakat Lokal Terabaikan dalam Pembangunan Wisata, Kasus Danau Toba

Bagaimanakan praktik di lapangan terkait pembangunan berkelanjutan, terutama dalam aspek sosial budaya masyarakat kita? Sejauh mana, misalnya, negara melindungi budaya penduduk lokal dalam pembangunan seperti Kawasan Wisata Prioritas di Indonesia? Pemerintahan Presiden Jokowi telah menetapkan lima destinasi wisata super prioritas yaitu Danau Toba (Sumatra Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), dan Likupang (Sulawesi Utara). Bagaimana posisi masyarakat lokal di lima daerah tersebut? Apakah pemerintah pusat dan daerah mempersiapkan masyarakat lokal? Proteksi apa yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat lokal?

Dari aspek sosial, dengan dijadikannya lima daerah itu sebagai destinasi wisata super prioritas, dapat dipastikan akan terjadi perubahan budaya. Perubahan budaya terjadi karena dampak perubahan ekonomi dan terjadi adaptasi masyarakat lokal terhadap perubahan status dari wilayah pertanian ke wilayah wisata. Perubahan budaya petani ke budaya sadar wisata.

Fakta dari lapangan menunjukkan terjadi kegamangan, bahkan terjadi perlawanan dari masyarakat karena tidak ada kejelasan akan masa depan mereka.

Kasus dari Danau Toba

Di Desa Sigapiton dan Desa Motung, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, misalnya, kehadiran pemerintah pusat yang diwakili Badan Otorita Danau Toba (BODT) mendapat penolakan masyarakat lokal karena cara BODT memperoleh lahan sekitar 500 hektar. Pemerintah pusat mengklaim lahan itu merupakan hutan lindung.

Sementara masyarakat lokal menganggap lahan itu lahan nenek moyang mereka secara turun temurun, diperkirakan sejak 350 tahun lalu. Indonesia belum merdeka nenek moyang mereka sudah hidup di Sigapiton dan Motung. Bukti otentiknya berupa kuburan, rumah, parit, dan berbagai benda budaya yang sudah turun temurun ada di wilayah itu.

Namun di lapangan, dengan mudahnya pemerintah mengatakan lahan itu adalah lahan negara karena berstatus hutan lindung. Karena berstatus hutan lindung maka negara diwakili Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) memberikan lahan itu ke BODT untuk dibangun hotel, lapangan golf, dan berbagai kebutuhan wisata.

Rakyat Desa Sigapiton dan Motung, serta pemerhati lingkungan dan sosial bertanya-tanya, mengapa selama ini ketika rakyat Sigapiton mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari, mereka dilaporkan Dinas Kehutanan ke polisi? Bukankah sejak dulu nenek moyang mereka bebas mengambil kayu dari hutan itu? Sebelum BODT datang, masyarakat Sigapiton menerima penjelasan Dinas Kehutanan Toba bahwa mereka dilarang mengambil kayu dari hutan karena hutan akan memberikan mereka sumber air. Warga lalu menjaga hutan bersama Dinas Kehutanan Toba.

Rakyat kini mempersoalkan, saat pemerintah pusat melalui BODT tiba-tiba hendak mengeksploitasi lahan hutan itu karena akan diberikan kepada investor. Mengapa hutan lindung itu boleh dieksploitasi oleh investor tetapi  oleh rakyat biasa tidak boleh, bahkan untuk sekedar mendapatkan kayu bakar?

Apakah ini yang disebut investor hijau? Seperti apa investor hijau itu? Jika kita gunakan akal sehat, sampai kapan pun cara-cara sperti ini tidaklah dapat diterima masyarakat lokal dan manusia yang rasional.

BODT hanya menawarkan harga tanaman rakyat yang ditanam dilahan itu seperti kopi, jagung, dan berbagai tanaman rakyat lainnya. Pertanyaannya, jika tanaman mereka dibayar pemerintah bagaimana kelanjutan hidup mereka? Bagaimana dengan masa depan anak-anak mereka? Mata air mereka akan mati karena hutan yang dulunya dipelihara rakyat akan menjadi hotel, lapangan golf, dan keperluan lain. Di mana posisi masyarakat lokal dalam kehadiran pembangunan kawasan destinasi wisata super prioritas?

Dalam menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), perdebatan yang sengit di tim penyusunan AMDAL adalah paradigma antroposentris dengan ekosentris. Dalam konteks destinasi wisata Danau Toba apakah antroposentris atau ekosentris? Rasanya yang kental kelihatan adalah proyeksentris.

Terkait proyek BODT, dua warga lokal menjadi terpidana karena membakar rumput dan kayu-kayu kecil dari lahan pertanian mereka saat mereka hendak bercocok tanam di lahan yang diklaim sebagai hutan lindung itu. BODT melaporkan mereka dengan tuduhan pembakaran lahan. Pasal yang dituduhkan sama dengan pasal yang dituduhkan kepada pembakar lahan gambut untuk lahan sawit di Provinsi Riau. Adanya dua warga Sigapiton yang masuk rumah tahanan (Rutan) membuat rakyat Sigapiton berhenti melakukan perlawanan.

Kantor Staf Presiden (KSP) sebenarnya telah menyampaikan bahwa daerah Sigapiton adalah daerah transisi dari wilayah adat menjadi wilayah wisata. Masyarakat lokal belum menyadari, bahkan tidak tahu batas-batas wilayah yang diklaim BODT menjadi miliknya dari pengalihan hutan lindung oleh KLHK. Karena Sigapiton daerah transisi, KSP menulis surat edaran agar polisi memakluminya dan tidak perlu menangkap warga yang bekerja di lahan transisi itu.

Namun polisi tetap menangkap dan melanjutkan proses hukum terhadap warga. Di Pengadilan Negeri (PN) Balige, dua warga Sigapiton diadili. Saya menjadi saksi ahli dari Ilmu Lingkungan, Prof Mompang Panggabean, SH, MH sebagai ahli hukum pidana, dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Dr Maruarar Siahaan sebagai ahli konstitusi. Dr Maruarar Siahaan yang mantan hakim MK itu tiga hari menunggu giliran untuk menyampaikan keahliannya lewat zoom, tetapi hakim di PN Balige tidak memberi kesempatan tanpa alasan jelas.

Dr Maruarar sangat kecewa akan hal itu karena dia ingin menjelaskan bahwa UUD 1945 sangat jelas mengatakan perlindungan akan hak-hak masyarakat hukum adat.

Jangan singkirkan masyarakat lokal

Konflik di Sigapiton dan Motung merupakan dampak dari cara-cara BODT yang mengabaikan posisi dan kedudukan masyarakat lokal. Jika pengembangan wisata benar berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), konflik sosial tidak akan pernah terjadi. Semua masyarakat menginginkan pembangunan, apalagi daerah wisata.

Wisata adalah orang datang melihat keindahan (Danau Toba) kemudian pulang meninggalkan uang. Tetapi ketika tanah ulayat mereka diambil BODT atas dasar hutan lindung,  rakyat melakukan perlawanan. Pendekatan pemerintah seperti yang dilakukan BODT merupakan sebuah kekeliruan. Dibutuhkan kajian sosial budaya yang dalam dengan mengedepankan masyarakat lokal.

Pariwisata identik dengan memperkenalkan keindahan alam, budaya yang kaya kepada pengunjung. Namun dengan cara BODT, budaya lokal akan terkikis karena ekonomi mereka akan tergerus. Cara-cara BODT tidak menghasilkan rakyat yang ramah terhadap wisatawa.

Jika BODT melakukan pendekatan sosial dan mengajak rakyat untuk bersama membangun wisata dengan baik, maka relasi pemerintah dan masyarakat lokal akan terbangun dengan baik. Pemerintah dan warga lokal bergandengan untuk menyambut wisatawan. Pemerintah dan masyarakat lokal berbicara secara bersama konsep apa yang tepat untuk membangun wisata yang berkelanjutan.

Jika hal itu yang dilakukan, investasi hijau tidak hanya jadi wacana. Investasi hijau niscaya menjadi kenyataan. Hasil akhirnya destinasi wisata akan tetap indah, lestari, dan ekonomi warga meningkat secara berkelanjutan. 

https://travel.kompas.com/read/2022/07/19/115731827/masyarakat-lokal-terabaikan-dalam-pembangunan-wisata-kasus-danau-toba

Terkini Lainnya

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Jalan Jalan
Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Travel Tips
8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

Travel Tips
Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke