KOMPAS.com - Kampung Tugu merupakan sebuah pemukiman di Jakarta Utara yang dihuni oleh orang-orang berkewarganegaraan Portugis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu.
Lokasinya bisa ditemui bila menelusuri Jalan Raya Tugu Semper Barat Nomor 20, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara.
"Kalau melihat orang tugu yang tinggal di kawasan Kampung Tugu, kebanyakan perawakan Portugisnya tidak terlalu terlihat, mungkin karena sudah terjadi perkawinan campuran juga," kata pemandu Wisata Kreatif Jakarta, Yuli saat kegiatan tur wisata jalan kaki rute Kampung Tugu, Jakarta Utara, Rabu (27/9/2023).
Sebagian besar orang selama ini mungkin beranggapan bahwa penduduk yang tinggal di Kampung Tugu merupakan keturunan asli Portugis.
Padahal faktanya, kata Yuli, orang yang tinggal di Kampung Tugu bukanlah keturunan asli Portugis, melainkan keturunan asli India.
Lantas bagaimana mereka akhirnya menetap di Kampung Tugu, Jakarta Utara?
Sejarah hadirnya penduduk Kampung Tugu
Yuli menjelaskan, sekitar tahun 1511 hingga 1641 bangsa Portugis menguasai kawasan Malaka, yaitu kawasan perdagangan terbesar di dunia pada saat itu.
Akan tetapi kekuasaan Portugis tidak berlangsung lama, karena sekitar 1648 bangsa Belanda masuk dan mengambil alih kekuasaan Portugis di Malaka.
"Ketika bangsa Belanda masuk, Portugis kalah, dan sekitar 800 tentara Portugis kemudian dibawa ke Batavia oleh Belanda untuk dijadikan budak, pekerja, dan tahanan perang," katanya.
Sekitar 1661, tentara Portugis kemudian dijanjikan akan dimerdekakan oleh Belanda dengan dua syarat wajib.
Pertama, mereka harus pindah agama sama dengan yang dianut oleh bangsa Belanda, yaitu agama Kristen Protestan. Kedua, wajib menggunakan fam atau nama belakang dari orang Belanda.
"Jadi di sini dulu ada 23 fam Belanda, tapi sekarang tersisa tujuh fam," kata Yuli.
Ia melanjutkan, berkurangnya fam Belanda hingga saat ini terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya karena terjadinya perkawinan campuran, ada yang tidak menikah, dan ada pula bangsa Portugis yang tidak punya keturunan laki-laki untuk mewariskan fam keluarga.
Adapun tujuh fam Belanda yang tersisa di Kampung Tugu yakni Abraham, Andreas, Cornelis, Michiels, Salomons, Saymons, Quiko, dan Browne.
Sempat ditolak penduduk suku Betawi
Keberadaan orang Portugis di Kampung Tugu pada saat itu sempat ditolak oleh masyarakat lokal, yakni penduduk suku Betawi. Hal ini karena mereka dicurigai sebagai orang yang pro terhadap bangsa Belanda.
Aksi penolakan ini dikenal dengan nama peristiwa Gedoran, peristiwa ini terjadi pada 1945, tepat setelah Indonesia merdeka.
"Saat peristiwa itu masyarakat lokal hendak menggerebek rumah-rumah orang Portugis. Akan tetapi peristiwa ini dihalangi oleh seorang tokoh masyarakat bernama Haji Maksum," katanya.
Kata Yuli, Haji Maksum merupakan tokoh agama, orang keturunan Betawi asli, dan dihormati oleh masyarakat suku Betawi.
Pada saat itu Haji Maksum menjadi sosok yang "pasang badan" membela orang-orang Portugis dan meyakinkan orang Betawi bahwa mereka tidak pro terhadap Belanda.
"Karena yang berbicara adalah tokoh masyarakat, akhirnya orang Betawi percaya," katanya.
Setelah peristiwa itu, sebagai bentuk penghormatan terhadap orang suku Betawi, maka orang-orang Portugis akan mengenakan baju koko dan peci pada setiap perayaan yang digelar di Kampung Tugu.
Penyebutan nama "Kampung Tugu" ini, kata Yuli, mulanya berawal dari masyarakat lokal yang sulit melafalkan kata "Portugis". Alhasil, untuk memudahkan pelafalan, "Kampung Portugis" hingga saat ini disebut juga dengan " Kampung Tugu".
https://travel.kompas.com/read/2023/09/27/161344227/menelusuri-sejarah-hadirnya-orang-portugis-di-kampung-tugu