Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (2)

Kompas.com - 07/03/2008, 07:47 WIB

[Tayang:  Senin - Jumat]

Selamat Datang di Tajikistan

Kota terakhir Afghanistan adalah Shir Khan Bandar, di tepian sungai lebar bernama Amu Darya. Sungai ini ditetapkan sebagai batas antara Afghanistan dengan Kekaisaran Rusia pada akhir abad ke-19. Sekarang menjadi batas negara Afghanistan dengan Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.

Bandar dalam bahasa Persia artinya pelabuhan. Tetapi jangan bayangkan Shir Khan Bandar sebagai kota pelabuhan yang sibuk dengan berbagai macam aktivitas perdagangan. Yang ada hanya gedung-gedung bolong seperti rumah hantu. Gedung itu ternyata asrama tentara perbatasan Afghanistan. Debu menyelimuti jalanan. Ada barisan reruntuhan sejumlah rumah di tengah padang pasir luas. Ada sekolah yang tak berdaun pintu, tak berkaca jendela, dan tak beratap. Anak-anak belajar dengan bersila di atas lantai dingin. Di Afghanistan dunia adalah milik laki-laki. Sama sekali tak nampak perempuan di jalan, kecuali dua sosok tubuh dibalut burqa biru, dari ujung mata sampai ujung kaki.

Saya menghela napas lega. Di seberang sana Tajikistan sudah tampak di pelupuk mata. Di tengah bulan Ramadan ini, keamanan di Kabul justru semakin gawat. Bulan Ramadan malah jadi musim bom, karena Taliban mendorong pengikutnya untuk 'berjihad' di bulan suci. Pernah suatu kali bom meledak tak lebih dari lima puluh meter dari tempat saya berdiri, di depan kantor kementrian dalam negeri. Yang tewas bukan hanya pegawai kementrian, tetapi juga perempuan dan anak-anak.

Kengerian perang Afghanistan benar-benar terlupakan di Shir Khan Bandar yang sepi ini. Tak ada orang lalu lalang. Tak ada toko dan pasar. Yang jelas, tak ada bom. Untuk apa meledakkan tempat yang memang sudah rusak dan terlupakan seperti ini? Tak ada warung makanan yang buka. Saya tidak wajib berpuasa, apalagi sebagai musafir. Afghanistan adalah negara yang sangat konservatif, tetapi bukan berarti tidak bersahabat. Mehman navaz, atau memberikan yang terbaik bagi tamu, adalah adat Afghan yang selalu dibangga-banggakan. Pemilik penginapan mengajak saya berbuka puasa bersama. Palao, nasi lemak dengan irisan daging, menjadi santapan terakhir saya di Afghanistan.

            "Jangan kuatir. Di Tajikistan sana, kamu masih bisa makan palao," kata si pemilik penginapan, seakan membaca pikiran saya.

Keesokan paginya, saya berjalan kaki ke kantor imigrasi Afghan. Tas bawaan saya hanya dilirik sekilas, paspor saya dicap, dan saya dipersilahkan menuju ke bandar, pelabuhan. Sebenarnya ada jembatan yang menghubungkan Shir Khan Bandar dengan Tajikistan, dibangun oleh Amerika Serikat, tetapi masih belum diresmikan. Sekarang yang mau ke Tajikistan harus naik kapal. Karcisnya 10 dolar, hanya untuk menyeberang sungai ini. Bisnis internasional yang lumayan juga.

Beberapa orang mahasiswa Afghan yang baru saja mendapat beasiswa di Kyrgyzstan, juga ikut menyeberang ke Tajikistan.
            "Di Afghanistan tidak ada kedutaan Kyrgyzstan, jadi kita harus ke Tajikistan dulu untuk bikin visa," kata Muhammad, 20, pemuda etnis Uzbek dari kota Mazar Sharif.

Mereka adalah sekelompok pemuda berjenggot lebat yang kemarin malam saya lihat datang ke penginapan dengan memakai jubah panjang-panjang dan peci kecil khas Afghan. Sekarang kedelapan pemuda ini sudah disulap menjadi pria-pria klimis dengan dasi dan jas mahal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com