Sebenarnya saya tak sendiri. Banyak juga orang-orang seperti saya, yang hanya mampu menjadi penonton kemegahan Astana, tetapi harus tersisih sebagai kaum tak berpunya di rimba kemakmuran ini. Saya harus menjalani kehidupan sebagai gelandangan di negeri kaya ini.
Di tengah beratnya malam ini, saya semakin menyadari sebuah filsafat China, seni sebuah perjalanan adalah manakala kita melupakan siapa diri kita. Di sini, saya memang bukan siapa-siapa. Identitas dan kebanggaan yang selalu melekat di tubuh tanggal satu per satu. Setelah semua jati diri dan ego itu ditelanjangi habis-habisan, sekarang saya tak lebih dari gelandangan yang harus main kucing-kucingan dengan polisi Kazakhstan hanya untuk melewatkan malam.
Penderitaan digerus kekayaan Astana membawa sebuah pencerahan yang tak terduga.
(Bersambung)