Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (76)

Kompas.com - 19/06/2008, 10:24 WIB

Saya memang mengalungkan telepon ke mana-mana, tetapi di balik jaket saya ada saku berisleting, tempat saya menyimpan barang itu. Pemuda itu tidak mendapat apa-apa, karena telepon genggam saya masih terkunci dengan aman di dalam saku jaket.

Pemuda itu terkejut dengan kegagalannya. Dan saya masih terus berteriak. Saya mencoba meraih tangga apartemen, tetapi karena histeris kaki saya terasa lemah untuk menapaki anak tangga. Entah sudah berapa kali saya terpeleset. Saya juga merasa tangan-tangan para bajingan itu berusaha meraih saya. Dalam situasi begini, jeritan adalah senjata saya satu-satunya. Di apartemen yang padat berpenghuni ini, pasti banyak yang mendengar jeritan ketakutan saya.

Akhirnya mereka kabur.

Wajah saya pucat seperti mayat setelah dengan susah payah saya mencapai rumah Temur di lantai dua. Sepupunya yang membukakan pintu segera menenangkan saya. Jantung saya masih berdegup kencang, seperti atlet lari Olimpiade.

"Gus, saya sudah tidak tahu lagi mesti marah atau kasihan kepada kamu," kata mbak Rosalina, staf KBRI yang langsung saya telepon, "tetapi kamu itu ya, ceroboh sekali. Kita sudah berulang kali dapat peringatan dari polisi Uzbek, 'jangan sekali-sekali menelepon di jalan'. Ini Uzbekistan, Gus, bukan Indonesia ..."

Mbak  Rosalina selalu menjadi tumpahan permasalahan saya sejak saya tiba di Uzbek, dan memang entah mengapa, masalah aneh-aneh selalu datang bertubi-tubi. Ini adalah kecelakaan keempat yang saya alami di Uzbekistan. Dulu sudah uang kecurian, terus kamera rusak, terus HP dicolong orang di bus, belum lagi digiring ke kantor polisi di Ferghana. Cuma mbak Rosalina yang masih bersabar mendengar keluh kesah saya.

Belakangan saya tahu, keamanan di Tashkent, seperti halnya kota-kota besar Asia Tengah lainnya, memang sangat buruk. Ada seorang kawan Perancis yang bercerita bahwa temannya kerampokan di dalam apartemen. Laptop, TV, uang, semua benda berharga ludes disikat. Bukan pencurian biasa, tetapi perampokan dengan kekerasan.

Saya membaringkan diri di atas kursi empuk rumah Temur, masih berusaha meyakinkan otak saya yang bandel ini, bahwa yang saya alami tadi bukan lelucon belaka.

(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com