Secuil Turkmenistan saya intip di kedutaannya di Tehran. Tersembunyi di antara rumah-rumah mewah di sebuah gang kecil di daerah Farmaniyeh, kedutaan ini memang sangat susah dicari. Saya harus berganti-ganti kendaraan sampai lima kali. Dan itu pun hanya berurusan dengan manusia super dingin di balik jendela mungil.
"Datang lagi tujuh atau sepuluh hari lagi," kata si bapak konsul yang tak pernah terlihat wajahnya itu dari balik jendela. Saya hanya menyerahkan foto kopi paspor dan visa Uzbekistan.
"Tapi pak, saya belum mengisi formulir apa-apa," protes saya yang kebingungan.
Sebuah tangan melemparkan formulir kosong ke arah saya.
"Silakan pergi. Kedutaan sudah tutup," bentaknya. Jendela dibanting, tertutup rapat-rapat dalam hitungan detik, tanpa menunggu ratapan saya yang kebingungan.
Keesokan paginya, dengan membawa formulir visa yang sudah saya isi dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, saya kembali menempuh perjalanan hidup mati berganti-ganti bis kota hingga sampai ke Kedutaan Turkmenistan yang tersembunyi dalam kelok-kelokan gang Farmaniyeh.
Seorang backpacker cewek Perancis bahkan sudah membawa setangkai mawar dan sekotak coklat, yang akan dipersembahkan dengan penuh rasa cinta kepada manusia dingin di balik jendela, agar bermurah hati membagikan sebuah stiker visa Turkmenistan.
Saya tak membawa apa-apa.
"Tak ada yang bisa kamu lakukan," kata suara yang masih dingin itu, menambah dinginnya musim dingin, "kamu tunggu saja 7 sampai 10 hari."
Ternyata memang begitu prosedurnya. Fotokopi paspor dan visa Uzbek sudah cukup untuk mengajukan visa transit, satu-satunya jenis visa yang bisa saya dapatkan. Fotokopi paspor saya sudah dikirim ke Ashgabat, ibu kota Turkmenistan, untuk menunggu penyelidikan mendalam dan persetujuan dari pemerintah Turkmen sana. Untuk visa 5 hari saja waktu tunggunya sampai tujuh sampai sepuluh hari.
Tak ada yang tahu pasti bagaimana nasib pengajuan visa ini. Apakah diterima, apakah ditolak, semuanya tergantung suasana hati orang-orang anonim di Ashgabat sana.