Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (93)

Kompas.com - 14/07/2008, 07:43 WIB

Yang diizinkan naik terlebih dahulu adalah para penumpang yang punya tiket. Saya harus menyeruak kerumunan orang tak bertiket yang keganasannya tak perlu dipertanyakan. Setelah dengan susah payah, melintasi dorongan, tarikan, senggolan, cakaran, saya berhasil melintas gerbong. Selanjutnya saya cukup melenggang kangkung menuju tempat duduk saya, sebuah bangku kayu keras yang akan mengalasi saya selama 15 jam perjalanan merayap kereta super lambat ini.

Sekarang giliran para penumpang tak bertiket yang diijinkan masuk untuk mengisi pori-pori udara di gerbong ini. Ada kuota terbatas yang dibagikan dengan penuh kemurahan hati petugas kereta. Dan sebuah histeria dimulai.

Ibu-ibu, anak-anak, dan para pria tak bertiket itu mempertontonkan sisi keganasan manusia, yang tak segan sejenak melupakan harkat kemanusiaannya, untuk mencapai seutas tujuan. Tendangan, dorongan, tarikan, cakaran, teriakan nyaring, tangisan pilu mengiris hati, supah serapah, semua bercampur jadi satu. Perlahan-lahan manusia-manusia yang ganas di luar sana mulai memasuki gerbong kami, masih dengan keganasan mereka yang tanpa ampun mencari tempat menaruh barang dan badan. Setiap petak lantai sangat berharga, untuk menyelamatkan diri dari letih dalam perjalanan ekstra panjang ini.

Setelah gerbong penuh sesak, dengan hati dingin petugas kereta membanting pintu gerbong. Di luar sana masih banyak anak-anak dan ibu-ibu yang menangis histeris, berteriak penuh frustrasi. Kereta mulai bergetar, bergerak lambat-lambat.

Tiba-tiba dari dalam gerbong meletus sebuah tangisan yang membawa aroma perkabungan. Tangisan bocah perempuan yang menyayat hati, karena dalam perjuangan sikut-sikutan masuk kereta, ibunya masih tertinggal di stasiun sana. Si bocah sekarang terbawa ke kereta menuju ke Charjou, sedangkan si ibu pasti sama-sama histerisnya di tepian peron stasiun Ashgabat.

Histeria perlahan-lahan mereda. Penumpang-penumpang ganas itu sayup-sayup menjadi jinak, menghela napas lega telah berhasil mencapai salah satu kesuksesan tak terhingga dalam hidup – naik kereta pulang ke rumah.

Penuh sesak saya duduk di bangku kayu panjang ini. Yang sejatinya untuk dua orang sekarang menjadi tempat duduk empat orang. Masih ada nenek-nenek yang duduk pasrah di sebelah kaki saya. Tak mungkin berjalan-jalan di kereta ini, karena lantai sudah dipenuhi tumpukan manusia.

Dalam keterjepitan, saya mengeluarkan kitab Ruhnama, pembasuh jiwa. Ibu-ibu tua yang duduk berhadapan tersenyum senang, memamerkan deretan gigi emasnya, yang kemilaunya senada dengan Abad Emas Turkmeninstan.

(Bersambung)
____________

Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com