Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (2): Mimpi Buruk

Kompas.com - 05/08/2008, 08:38 WIB

Kunlun adalah pengukur manusia, tanpa keberanian laki-laki, jangan kau dekati
Kunlun adalah jalan yang tak habis, gunung yang tak tertaklukan, kalau tak kuat lapar dan dingin, jangan kau daki.

Benar saja, pagi-pagi dan dingin begini, bus kami  terhenti. Ada barisan enam bus tentara dan beberapa truk barang yang terhenti di depan sungai yang mengalir deras. Semua kendaraan ini tak bisa melintas. Para penumpang dan sopir sibuk membuat lintasan dari batu gunung. Ada pula yang memasang tali tambang pada truk, untuk menarik truk tentara yang membawa gas.

           “Namaku Yan Fang,” kata gadis Beizing berjaket merah, mengajak berkenalan, ketika kami sama-sama menunggu para tentara bekerja di bawah rintik hujan.

Gadis ini sudah berusia tiga puluhan, tetapi nampak masih muda. Bukan hanya itu, gadis yang berprofesi sebagai guru ini pun adalah wanita tangguh. Seorang diri ia naik sepeda dari Beizing, melintasi ribuan kilometer.

           “Aku menumpang salah satu truk tentara itu. Waktu di Kilometer Nol, tentara sangat terkejut melihat aku sendirian naik sepeda. ‘Jangan, kamu jangan ke Tibet sendirian, berbahaya,’ begitu kata mereka. Tentara-tentara ini memang orang baik. Akhirnya aku diangkut dengan truk tentara itu, gratis!”

Semua truk tentara berwarna hijau. Di depannya berselempang kain merah dengan tulisan kuning. Isinya slogan-slogan dalam bahasa Mandarin, yang jumlah huruf dan jenis kata pada baitnya selalu bersimetri, semisal, “Truk tentara berjalan beribu li, bendera merah masuk berlaksa rumah.”

Empat jam kemudian baru iring-iringan mobil tentara itu berhasil melewati jeram kecil yang deras itu. Ketika tiba giliran bus kami, kendaraan besar dan bebal ini oleng berkali-kali. Penumpang disuruh turun, bus menyeberang sungai tanpa penumpang, dan sekarang giliran kami melompati batu gunung yang besar-besar. Saya tercebur dalam sungai coklat itu. Dinginnya langsung membekukan mata kaki.

Perasaan senasib sepenanggungan kaum penyelundup ilegal semakin mengakrabkan saya dengan kedua petualang Korea sesama penumpang bus. Seum dan Kim, sepasang sejoli ini, baru pertama kali backpacking, datang ke China. Tak tanggung-tanggung, mereka langsung memilih Tibet sebagai destinasi pertama, mewujudkan mimpi-mimpi tentang sebuah negeri Budha eksotis di atap dunia.

Keduanya masih berumur dua puluhan. Bekal mereka adalah lembar-lembar fotokopian dan print informasi terkini tentang Tibet yang diunduh dari internet. Seum, si lelaki, menunjukkan peta Tibet lengkap dengan info di mana ada pos pemeriksaan polisi yang berbahaya bagi orang asing. Kim hanya tertawa santai, menunjukkan gigi kelincinya. Tugas riset adalah pekerjaan si cowok. Si cewek hanya menikmati petualangan ini sesantai-santainya.

Saya pun belajar banyak dari mereka untuk menghadapi rintangan dengan santai. Bukankah petualangan seperti ini yang saya idamkan? Bukankah perjalanan yang tanpa hambatan adalah makanan yang hambar tanpa rasa?

(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com