Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (3): Parit Kematian

Kompas.com - 06/08/2008, 08:09 WIB

Ini adalah nama yang legendaris. Setiap tahun, ada saja yang tewas dalam lintasan Xinjiang-Tibet Highway ini. Kalau bukan karena kecelakaan, pasti karena alam yang misterius. Mengapa dinamai Parit Kematian? Deng Hui berkisah, awalnya adalah sekelompok serdadu Tentara Pembebasan sedang berarak menuju Tibet melalui jalan ini. Mereka berkemah di sini.

Esok paginya semua mati. Mati, begitu saja. Tidur pun mati. “Zaman itu orang masih belum mengerti apa itu altitude sickness.. Semua dihubung-hubungkan dengan setan dan kekuatan mistis. Karena itulah Parit Kematian mendapat namanya yang seram.”

Seperti apa tempat itu? Saya mendengar dari penumpang lain, ada orang yang mati hanya karena turun dari truk. “Meloncat dari truk untuk buang hajat, begitu sampai bumi langsung mati.” Di Parit Kematian, kadar oksigen hanya sekitar seperempat kadar normal. Aktivitas yang biasa-biasa saja di tempat normal di sini sudah sama dengan bunuh diri. Pantas saja ketika saya berlari-lari kecil menjari batu untuk membuang hajat, jantung saya rasanya sakit sekali. Ternyata saya pun masih belum terbiasa ketinggian di sini.

Seram sekali. Ketika saya memejamkan mata dalam bus yang bergoyang hebat, saya hanya bisa berdoa semoga saya masih boleh membuka mata lagi esok pagi.

Inilah malam yang paling menyakitkan. Bus terus maju, ditelan kegelapan malam puncak-puncak Kunlun. Konon Xinjiang-Tibet Highway adalah jalan umum tertinggi di muka bumi, dengan lintasan yang paling berbahaya di seluruh negeri, berbelok-belok tajam seperti gigi serigala. Sopir bus masih mengemudikan kendaraan sepanjang malam, kalau tidak kami tidak akan pernah sampai di Tibet mengingat kecepatan rata-rata bus juga cuma 20 kilometer per jam.

Pagi hari, saya bersyukur masih bisa membuka mata. Bus bergoncang hebat. Beberapa kali kepala saya terantuk besi pinggiran tempat tidur. Kepala saya berat, seperti ditekan palu godam. Membuka mata pun sakit sekali. Apalagi kaca jendela tak bisa tertutup rapat, udara dingin yang membekukan selalu tersembur ke wajah. Tetapi pemandangan di luar sana sangat indah.

Parit Kematian. Tempat indah yang menawarkan maut. Kami berhasil melewatinya.

Lima belas kilometer kemudian, di luar kaca jendela yang membeku, pemandangan bagaikan lukisan yang terkira. Padang rumput hijau membentang, dengan puncak gunung bertudung salju. Langit biru gelap menangkupi. Tetapi kontras dengan pemandangan ini, adalah rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuh. Saya memaksakan mengambil kamera dan memotret dari balik jendela. Tiga jepretan saja, tubuh saya sudah tidak kuat sama sekali, kembali masuk ke alam tidur.

Gunung indah ini adalah Satsum La, atau dalam bahasa Mandarin disebut Jieshan Daba – Gunung Batas. 693 kilometer sudah kami meninggalkan Kargilik. Ini adalah puncak tertinggi dalam perjalanan ini, 6700 meter di atas permukaan laut.

Saya sudah di Tibet!


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com