Aneh sekali. Kim yang semula tertatih-tatih, kini malah melesat cepat dengan tongkatnya. Bahkan saya tak sanggup mengejarnya. Si gadis Korea yang pucat pasi itu sudah jauh meninggalkan kami.
“Biarkan saja,” kata Yan Fang, “ini mungkin gejala keanehan di tempat tinggi. Bukan hanya otot dan paru-paru yang terpengaruh, bahkan terkadang kita tak bisa mengontrol saraf kita lagi.”
Di sini, oksigen kurang dari separuh kadar oksigen di permukaan laut. Bernafas susah, otak pun tak bekerja sempurna. Kalau kita yang dari tempat rendah akan mengalami gejala Altitude Sickness, orang pegunungan Tibet kalau dibawa ke dataran rendah pun akan mengalami pusing dan mual. Setiap manusia punya habitat hidupnya sendiri-sendiri.
Saya jalan seorang diri, karena kawan-kawan yang lain sudah jauh di depan. Punggung saya mulai terasa ngilu. Tas saya cuma berisi dua buku, makanan, dan air. Kaki saya sudah mulai menyeret. Mata berkunang-kunang. Tetapi justru dalam keadaan seperti ini saya melihat lebih jelas, walaupun bukan dengan mata.
Saya berpapasan dengan para peziarah Tibet. Mereka melintas, serombongan demi serombongan. Kulit wajah mereka hitam, dengan kulit pipi yang menebal terbakar sinar matahari. Sebagian melindungi hidung dan mulut mereka dengan masker, seperti dokter yang hendak mengoperasi pasien. Pakaian mereka eksotis, tidak pernah saya lihat sebelumnya. Jaket panjang sampai ke lutut, hanya satu lengannya. Topi koboi juga sangat populer. Kalung, gelang, dan beragam aksesoris menjadikan wajah dan tubuh mereka seperti kanvas dengan lukisan mozaik yang indah. Tetapi yang membuat saya takjub adalah tekad untuk terus maju, maju, dan maju.
Kakek tua berjalan dengan lincah, dengan tangan kanan memutar roda sembahyang. Satu putaran roda silinder ini berarti satu kali bacaan doa Om Mani Padme Hom yang tertulis di permukaan roda. Sepanjang perjalanan suci ini, roda doa terus diputar, mantra suci terus dilantunkan, menggumam naik turun dalam kemonotonan. Setiap kali saya mendengar mantra itu, selirih apa pun, hati saya bergetar.
Saya terus bertahan, menyeret kaki hingga ke puncak.
Saya berhasil menyusul kawan-kawan yang sudah jauh di depan. Rupanya, semangat ‘ekstasi’ yang dialami Kim sudah menguap. Kini kembali gadis yang pucat pasi itu kehilangan tenaga dan harus dituntun dengan sabar oleh pacarnya. Sungai mengalir deras di akhir perjalanan. Kami harus menyeberangi sungai ini untuk sampai ke Kuil Drira Phuk, tempat kami beristirahat malam ini.
Sungai ini cukup dalam. Gemuruhnya bergemeretak, menandakan batu-batu pun terhantam oleh kuat arusnya. Seum dengan sabar menata batu-batu besar untuk membuat jembatan, walaupun akhirnya selalu ambrol diterpa aliran sungai. Kaki saya tercelup dalam airnya yang langsung membuat beku. Sungai ini berasal dari lelehan salju di puncak Kailash. Bagi orang Tibet, apa pun yang berasal dari Kailash adalah suci.
Punggung saya terasa remuk ketika kami akhirnya sampai di tenda kecil di samping Drira Phuk. Gurat garis-garis sejajar horizontal menghiasi wajah utara Gunung Kailash. Tiang doa didirikan di hadapan Gunung Dewa. Para peziarah bersujud dan bersembah, hingga posisi benar-benar tertelungkup di atas tanah, di hapadan gunung. Dengan penuh takzim mereka memasangkan bendera doa yang mereka bawa dari jauh. Bintang kelap-kelip mulai bertaburan di langit cerah.