Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (12): Terbawa Arus

Kompas.com - 19/08/2008, 06:41 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Mantra suci Om Mani Padmi Hom masih terus bergema di hati saya, ketika kami memulai perjalanan kora keliling Kailash di hari kedua.

Orang Tibet sungguh tangguh. Mereka menyelesaikan satu putaran kora, lintasan 52 kilometer ini hanya dalam waktu sehari. Berangkat subuh, sampai di Drera Phuk pagi hari, dan sekarang sudah menyalip saya yang terengah-engah kehabisan nafas, dan akan sampai kembali di Darchen malam nanti.. Dari arah berlawanan, juga datang rombongan peziarah yang bukan berjalan, tetapi merayap.

Bagi mereka yang berteguh asa membaktikan diri sepenuhnya dalam ziarah ini, berkeliling Gunung Dewa dilakukan dengan merayap. ‘Merayap’, dalam artinya yang paling harafiah. Kedua lutut ditempelkan ke tanah, kedua tangan di samping badan menyeret perlahan-lahan ke depan, hingga sekujur tubuh tertarik dan tertelungkup di atas bumi. Kedua tangan diseret lagi, tubuh perlahan-lahan diangkat, berdiri, maju selangkah, komat-kamit membaca doa dengan mengatupkan telapak tangan, kemudian tengkurap lagi di tanah.

Demikian seterusnya, sejauh puluhan kilometer melewati jalan datar, bongkahan batu, hingga sungai dingin di atap dunia ini. Tangan mereka boleh dilindungi sarung tangan dan sandal. Tubuhnya boleh dibalut karet tebal. Sakit perut boleh ditahan dengan obat. Tetapi semangat pengorbanan, melintasi tiga minggu penuh derita, sungguh tak tergantikan.

Ziarah, adalah pelepasan kehidupan keduniawian. Mereka sama sekali tak mendapat gelar apa-apa, tak mendapat status sosial yang lebih tinggi, atau berpakaian lain setelah melakukan ziarah ini. Mereka hanya menjadi manusia baru secara spiritual. Tanda-tanda fisik sudah tak dibutuhkan lagi ketika hati nurani tercerahkan.

Jangan dibandingkan dengan rombongan turis yang membawa tenda, kompor, bumbu masakan, menu favorit, ransel dua puluh kilogram, dan menyewa yak untuk membawa beban berat keduniawian ini. Para peziarah Tibet tak butuh apa-apa kecuali untaian tasbih, roda doa, bendera doa, sebungkus serbuk tsampa yang langsung jadi makanan begitu dicampur air panas, dan mantra suci.

Perjalanan hari ini jauh lebih berat dari kemarin, karena yang ada hanya naik dan terus naik. Kami sampai di Shiwa Tsal, tempat serpihan pakaian terhampar dan bau anyir menusuk hidung. Tempat ini adalah simbol kematian.

Dalam ajaran Budha Tibet, kematian adalah kesempatan manusia membaktikan diri pada alam semesta. Jenazah tidak dikubur, tetapi dibiarkan di alam terbuka, untuk memberi makan burung pemangsa. Bahkan sesudah mati pun, jenazah manusia masih boleh mengenyangkan perut burung yang kelaparan. Bukankah menghidupi sesama makhluk di dunia juga merupakan amal dan dharma?

Shiwa Tsal adalah tempat matinya diri kita yang lama, berganti menjadi manusia baru yang tercerahkan. Di sini orang Tibet menyatakan simbolik kematian mereka. Serpihan baju, kalung, tasbih, darah, rambut, dan barang berharga lainnya ditinggalkan di sini. Bukan hanya milik mereka sendiri, tetapi juga punya anggota keluarga lainnya.

Perjalanan semakin curam, melintasi tanah batu yang berzig-zag. Baik Kim dan Yan Fang sudah kehabisan nafas. Kim sudah seputih mayat wajahnya, berjalan dituntun kekasihnya, lambat-lambat di belakang. Saya pun hanya menyeret pelan. Yang ada di benak cuma maju dan terus maju.

Puncak Drolma-La pada ketinggian 5630 meter adalah puncak tertinggi dalam perjalanan ini. Udara sangat tipis. Saya sudah hampir pingsan sebelum sampai di sini, tetapi tepat ketika berada di puncak, setelah pacuan nafas mereda, tiba-tiba tubuh saya dipenuhi energi yang entah dari mana datangnya.

Bendera doa warna-warni yang berkibar ke arah Gunung Dewa. Orang Tibet percaya, semakin tinggi tempatnya, semakin bagus untuk melantunkan doa. Biksu dan bikuni yang berjalan tertatih-tatih menggotong lempengan batu mani, diiring doa dan ditahtakan di hadapan Kailash. Saya tenggelam dalam alunan mantra yang terus bergema dalam hati. Ketika nafas sudah mereda, otak mulai jernih diselimuti kebahagiaan, saya menilik perjalanan panjang penuh derita yang sudah dilalui hingga sampai ke titik ini. Saya seperti batu baterai yang baru di-recharge, penuh semangat baru untuk segera mencapai tujuan akhir – Darchen.

Masih tiga puluh kilometer lagi jalan menuju Darchen. Saya berlari seperti kesetanan turun gunung.

Tetapi, perjalanan suci tak boleh ditempuh dengan buru-buru dan hati takabur. Saya terpeleset. Kaki saya terpelintir. Saya menjerit ketika Yan Fang mengurut kaki saya. Untuk bangkit pun susah, apalagi berjalan. Tetapi tak mungkin berhenti di tempat ini. Saya memaksa untuk terus maju, menyeret kaki kiri yang sudah tak bisa berfungsi lagi. Yan Fang meminjami tongkat, supaya saya terus bertahan.

Mereka semua buru-buru, ingin mencapai Darchen sebelum hari gelap. Saya terpencar sendirian, teman-teman sudah jauh di depan. Saya tak tahu arah, tak punya peta. Saya hanya menyeret kaki mengikuti jalan setapak. Dan memang benar kata orang, semakin hati kita tak tenang, semakin salah kita menyimpang.

Saya melihat di seberang sungai sana ada orang-orang Tibet yang berjalan bergegas mengitari gunung. Sedangkan di sisi sungai sebelah sini, tak ada orang lain. Saya seorang diri. Jalan setapak semakin menciut, hingga akhirnya setelah tiga jam berjalan, berakhir di persimpangan sungai. Bagaimana cara menyeberang ke sana? Sungai ini begitu dalam dan deras, tak mungkin saya menyeberang.

Tiba-tiba dari seberang sana nampak seorang bocah gembala dengan kawanan kambingnya. Saya berteriak, “DARCHEN! DARCHEN!” Suara saya tenggelam oleh gemuruh sungai. Bocah itu segera kembali lagi ke kemahnya, datang membawa sepasang sepatu bot.

Dengan lincah ia meloncati batu-batu besar, meminjamkan sepatu bot itu kepada saya, dan mengajak saya meloncati barisan batu. Saya terpeleset. Kepala saya terbenam dalam air. Arus sungai kuat menghanyutkan.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

5 Wisata di Bandung Barat, Ada Danau hingga Bukit

5 Wisata di Bandung Barat, Ada Danau hingga Bukit

Jalan Jalan
Aktivitas Bandara Sam Ratulangi Kembali Normal Usai Erupsi Gunung Ruang 

Aktivitas Bandara Sam Ratulangi Kembali Normal Usai Erupsi Gunung Ruang 

Travel Update
5 Cara Motret Sunset dengan Menggunakan HP

5 Cara Motret Sunset dengan Menggunakan HP

Travel Tips
Harga Tiket Masuk Balong Geulis Cibugel Sumedang

Harga Tiket Masuk Balong Geulis Cibugel Sumedang

Jalan Jalan
Tips Menuju ke Balong Geulis, Disuguhi Pemandangan Indah

Tips Menuju ke Balong Geulis, Disuguhi Pemandangan Indah

Travel Update
Serunya Wisata Kolam Renang di Balong Geulis Sumedang

Serunya Wisata Kolam Renang di Balong Geulis Sumedang

Jalan Jalan
Nekat Sulut 'Flare' atau Kembang Api di Gunung Andong, Ini Sanksinya

Nekat Sulut "Flare" atau Kembang Api di Gunung Andong, Ini Sanksinya

Travel Update
Dua Bandara di Jateng Tak Lagi Berstatus Internasional, Kunjungan Wisata Tidak Terpengaruh

Dua Bandara di Jateng Tak Lagi Berstatus Internasional, Kunjungan Wisata Tidak Terpengaruh

Travel Update
Batal Liburan, Bisa Refund 100 Persen dari Tiket.com

Batal Liburan, Bisa Refund 100 Persen dari Tiket.com

Travel Update
Emirates Ajak Terbang Anak-anak Autisme, Wujud Layanan kepada Orang Berkebutuhan Khusus

Emirates Ajak Terbang Anak-anak Autisme, Wujud Layanan kepada Orang Berkebutuhan Khusus

Travel Update
Harga Tiket Masuk Terbaru di Scientia Square Park Tangerang

Harga Tiket Masuk Terbaru di Scientia Square Park Tangerang

Jalan Jalan
Ada 16 Aktivitas Seru di Scientia Square Park untuk Anak-anak

Ada 16 Aktivitas Seru di Scientia Square Park untuk Anak-anak

Jalan Jalan
Sungailiat Triathlon 2024 Diikuti 195 Peserta, Renang Tertunda dan 7 Peserta Sempat Dievakuasi

Sungailiat Triathlon 2024 Diikuti 195 Peserta, Renang Tertunda dan 7 Peserta Sempat Dievakuasi

Travel Update
Cara Akses Menuju ke Pendopo Ciherang Sentul

Cara Akses Menuju ke Pendopo Ciherang Sentul

Jalan Jalan
YIA Bandara Internasional Satu-satunya di Jateng-DIY, Diharapkan Ada Rute ke Bangkok

YIA Bandara Internasional Satu-satunya di Jateng-DIY, Diharapkan Ada Rute ke Bangkok

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com