"Lumayan pak. Satu kubik batu-satu bak pick up Mitsubishi Colt L-300-dibeli orang Rp 100.000. Banyak pengusaha material bangunan dan proyek membeli batu dan pasir di sini," kata Amun. Sungguh melelahkan memecah batu seharian sebagai pilihan hidup warga marjinal seperti Amun.
Menurut Amun, warga di dekat jembatan lama tersebut, hidup turun temurun sejak jaman Hindia Belanda ketika jembatan belum dibangun.
Rumah warga di Rajamandala di tepi Citarum mengingatkan suasana tahun 1960-an hingga awal 1980-an. Rumah dibangun di atas pan ggung sekitar 20 sentimeter dari permukaan tanah. Dinding rumah kebanyakan terbuat dari anyaman bambu yang dilapur kapur dan beratap genting tipis sederhana. Sungguh membawa ingatan pada koleksi foto Java Tempoe Doeloe di Tropen Instituut, Amsterdam.
Cerita Amun dikuatkan Aji (53) warga setempat yang mengaku masih mengingat Toean-Toean Belanda pemilik perkebunan di sekitar Rajamandala. "Kebun-kebun di sekitar sini dimiliki orang Belanda. Orangtua saya juga pernah kerja di semacam dinas pekerjaan umum Belanda," kata Aji.
Perkebunan di sepanjang Jalan Pos diawali Cultuur Stelsel masa Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch pada tahun 1830. Ketika kopi dan teh menjadi primadona perkebunan di Jawa. Sejarawan Joko Marihandono mencatat, bagian terbesar penghasilan kebun yakni 50 persen dikuasai elit Bumiputera yakni kaum priyayi yang menguasai pemerintahan, 30 persen disetor kepada Kas pemerintah Hindia Belanda, dan sisanya 20 persen menjadi hak petani.
Masa kejayaan kebun-kebun kopi dan teh yang mendatangkan kemakmuran bagi Kerajaan Belanda pada kurun 1860-an dan menjadikan Amsterdam sebagai pusat keuangan Eropa sudah berlalu. Seperti di masa lalu, kesejahteraan bukanlah milik rakyat Rajamandala dan petani Jawa pada umumnya. Alam kemerdekaan Republik Indonesia yang demokratis hanya membutuhkan mereka sebagai pemberi suara partai politik dalam Pemilihan Umum tiap lima tahun. Selebihnya, nasib warga Rajamandala sama dengan penggalan Jalan Raya Pos yakni terlupakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.