Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (23): Biksu Era Handphone

Kompas.com - 03/09/2008, 07:27 WIB

Uang juga menjadi daya tarik untuk masuk biara. Menjadi biksu dengan penghasilan yang lumayan besar untuk ukuran Tibet bisa menjadi penyokong perekonomian keluarga.

Tetapi uang juga dijadikan alat kontrol. Biksu muda ini bercerita bahwa mereka bukan hanya menerima uang bulanan tetapi wajib juga membayar denda kalau melanggar aturan biara.

Terlambat bangun, bolos, mengizinkan turis masuk tanpa karcis, adalah contoh-contoh pelanggaran yang bisa kena denda. Besarnya bervariasi, mulai dari puluhan sampai ratusan Yuan.

Uang adalah segalanya di negara ini. Saya teringat, lima tahun lebih tinggal di Beizing sebagai pelajar, betapa uang menjadi pembangkit motivasi sekaligus alat kontrol. Yang berhasil meraih prestasi diberi hadiah uang. Yang melanggar aturan didenda mahal. Kebijaksanaan Satu Anak berhasil karena denda yang sangat besar bagi orang Han yang ingin punya anak lebih.

Pernah suatu ketika saya ikut darma wisata bersama. Kelas kami adalah kumpulan orang asing yang belajar Bahasa Mandarin di Beizing. Karena ini darma wisata yang diadakan sekolah, biaya pun ditanggung pihak sekolah. Tetapi bukan berarti kami bebas dari tanggung jawab. Peserta darmawisata harus patuh terhadap pemandu wisata, dilarang keras meninggalkan kelompok tanpa persetujuan, dan harus kembali ke Beizing bersama-sama. Untuk menjamin peraturan semua dipatuhi, setiap peserta darma wisata diwajibkan memberikan uang jaminan sebesar 500 Yuan sebelum berangkat. Kalau peserta mengikuti program tanpa menimbulkan masalah, uang ini dikembalikan. Sebaliknya, kalau melanggar aturan, maka uang ini hangus.

Lima ratus Yuan bukan jumlah yang kecil. Tetapi lebih daripada nilai uang itu sendiri, denda punya fungsi sebagai hukuman sosial juga. Rasa malu yang ditimbulkan jauh melebihi harga nominal yang dibayar.

Sistem penghargaan dan hukuman dengan uang, yang menggerakkan disiplin dan etos kerja di negeri China, sampai juga ke pelosok biara di Tibet. Biksu yang malas kena denda. Turis yang mencuri-curi memotret atau masuk tanpa karcis juga didenda. Uang, uang, dan uang, biara pun tak lepas dari keterikatan duniawi.

Pukul enam tepat, para biksu bergegas menuju ruang pembacaan sutra. Mereka mengenakan topi kuning dengan bulu-bulu di atasnya. Doa yang berat dari dasar kerongkongan bertalu-talu, bergema melalui pilar dan rongga, mengisi kesunyian dengan aura mistis.

Tetapi tak semua biksu muda ikut pembacaan mantra. Beberapa orang sibuk di dapur, menumbuk mentega dan garam, dicampurkan dengan teh. Teh mentega, dalam bahasa Mandarin disebut suyou cha, atau pocha dalam bahasa Tibet, adalah minuman pokok di Tibet dan Bhutan. Menteganya berasal dari minyak yak. Rasanya asin. Biksu muda di ruang penjaga menyiapkan teh susu manis, campuran teh, susu, dan gula.

Senja menyelimuti Tashilhunpo. Saya bergegas meninggalkan kuil ini sebelum pintu gerbang ditutup. Takutnya, turis yang masih berkeliaran di kompleks biara setelah pintu ditutup juga akan kena denda.


(Bersambung)


_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com