Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (24): Pagoda Selaksa Buddha

Kompas.com - 04/09/2008, 05:14 WIB

Ketika saya mengeluarkan kamera, tiba-tiba datang seorang biksu muda.

          “Shushu – paman, karcis kamera 20 Yuan!” Ia menunjukkan selembar cetakan resmi dari biara.

Ini bukan pungutan liar. Tak bisa ditawar. Ia langsung tersenyum begitu saya membayar.
         
          “Sekarang shushu boleh memotret di mana pun kamu mau,” katanya.

Biksu muda berambut tipis ini bisa berubah menjadi galak seketika, juga gara-gara duit. Serombongan turis bule datang di bawah bimbingan seorang guide China. Waktunya panen raya bagi si biksu, karena pemandangan puluhan biksu yang berkonsentrasi membaca sutra dalam temaram kuil tentu bukan hal yang bisa dilewatkan kamera fotografer. Beberapa turis menolak membayar, tetapi mencoba mencuri-curi mengambil gambar.

          “Close your camera! I say you to close!!!” biksu muda penarik tiket langsung berteriak dengan muka garang.

Di sekeliling ruang pembacaan mantra, ada tiga ruangan, masing-masing berisi patung Buddha dan Bodhisatva. Kekayaan benda peninggalan sejarah Tibet, walaupun masih menakjubkan, sebenarnya sudah sedikit dari yang tersisa selama pengrusakan total dalam Revolusi Kebudayaan. Patung Maitreya berdiri gagah, bersama Sakyamuni dan Avalokiteshvara, dalam ruangan gelap yang menyiratkan misteri religius. Setiap patung suci dikalungi selendang sutra putih khata, dan di setiap tangan Buddha disematkan uang kertas Yuan yang masih baru.

Setiap kamar berisi patung-patung Buddha ada penjaganya. Masing-masing minta duit. Apakah agama di sini sudah menjadi arena tontonan pada para turis yang tak segan merogoh kocek dan menyodorkan Yuan? Mengapa semua kehidupan religius sekarang bisa dikomersialisasikan, sampai para biksu pun tergila-gila untuk terus mengeruk penghasilan?

Waktu makan siang, para biksu pun sementara berhenti membaca sutra. Seorang biksu petugas membagikan mangkuk berisi mi. Biksu tua menyeruput bakmi dengan takzim. Yang agak muda juga masih di tempat duduk yang sama, mengisi perut yang keroncongan. Yang lebih kecil lagi, misalnya Sefun yang baru berumur 12 tahun, dengan bahasa Mandarin pas-pasan menyatakan ketertarikannya pada telepon genggam yang saya pakai.

Hidup terus berubah. Gyantse, perbatasan Tibet ini pun sudah terambah modernisasi. Yuan bertengger di tangan patung Buddha. Biksu tua marah-marah demi duit. Biksu kecil terpesona oleh kemajuan teknologi.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com