Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (25): Runyam

Kompas.com - 05/09/2008, 07:41 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Bicara soal politik di Tibet bisa berakhir runyam. Jangan sembarangan berdiskusi tentang Dalai Lama, kontroversi Panchen Lama, kehidupan beragama, dan hal-hal sensitif lainnya kalau tidak ingin terlibat dalam kesulitan.

Menjadi orang asing di Tibet memang tidak mudah, apalagi kalau kita masuk ilegal dan tidak mengikuti peraturan pemerintah Tiongkok yang membatasi semua gerak-gerik di daerah ‘terlarang’ ini. Selain permit yang harganya menggila, orang asing juga tidak diizinkan naik kendaraan umum, apalagi menumpang truk di jalan. Yang diperbolehkan cuma jip turis, khusus disewa dari biro tur yang harganya tentu saja melangit. Saya, sebagai backpacker miskin, berusaha mencari jalan belakang – menyamar sebagai orang China.

Beruntung karena masih berwajah Asia dan cukup fasih berbahasa Mandarin, saya masih bisa ‘lewat’. Membeli tiket bus menuju Shegar di kaki Everest misalnya, saya sama sekali tak mengalami kesulitan. Beda halnya dengan seorang backpacker bule dari Kanada yang sudah bolak-balik terminal selama tiga hari terus gagal juga mendapat karcis. Saya membantunya membelikan karcis, tetapi loket penjual sudah curiga dan tetap tak mau memberi tiket. Ia sudah menyetop truk, tetapi tak satu pun yang mau berhenti. Sungguh memusingkan.

Sebenarnya bukan karena sopir tak mau uang, tetapi karena mengangkut orang asing dan sampai tertangkap polisi, risikonya bisa didenda ribuan Yuan. Dari Shigatse menuju perbatasan Nepal, ada dua pos pemeriksaan besar. Yang satu di Lhatse, satunya lagi di Nyalam. Dua tempat ini adalah yang paling berbahaya bagi orang asing yang menumpang kendaraan umum sepanjang rute Friendship Highway.

Sepanjang jalan, setidaknya saya melihat tiga turis bule yang berusaha mencegat bus. Tak dihiraukan sama sekali. Setelah lewat pos pemeriksaan di Lhatse, bus yang saya tumpangi baru berani berhenti, mengangkut dua orang turis berkulit putih yang menunggu di pinggir jalan.

          “Sejak kemarin kami menunggu seharian di Lhatse,” kata gadis Israel berambut pirang itu, “tetapi sungguh tak ada satu pun kendaraan yang bersedia mengangkut. Kami diminta jalan kaki dulu, melewati pos polisi yang jauhnya dua kilometer dari kota. Dan benar kata mereka, baru setelah menunggu di sini dua jam, kendaraan berhenti mengangkut kami.”

Selepas Lhatse, jalanan yang semula beraspal mulus berubah menjadi jalan buruk penuh lumpur. Beberapa kali bus kami terbenam dalam kubangan. Sampai akhirnya, bus benar-benar terhenti karena rendaman lumpur yang tinggi.

Di sebelah sana, orang Tibet sedang sibuk membangun jalan. Bukan cuma laki-laki, pekerjaan membangun jalan pun dikerjakan oleh kaum perempuan Tibet yang perkasa. Memanggul batu gunung besar tak masalah. Mengaduk semen, menyaring pasir, bahkan sampai menatah batu, semuanya bisa dikerjakan oleh kaum perempuan.

Mereka yang bekerja di sini adalah kaum melarat dari desa-desa terpencil. Kehidupan yang berat di atap dunia memaksa mereka untuk bekerja keras menyambung hidup, kalau tidak ingin disaingi serbuan pekerja dari daratan China yang siap menempati semua lowongan pekerjaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com