Si perempuan tua berbaju merah tertunduk. Dari balik bajunya ada berbagai macam baju, kain, dompet, selendang, jam weker,..., mirip kantung Doraemon yang tak pernah habis isinya. Dari dalam tasnya juga ada arloji, kalkulator, pernak-pernik, kalung, gelang, dan seterusnya.
“Orang-orang Nepal ini harus diawasi ketat,” dengus polisi perempuan berseragam hitam itu, “mereka suka memanfaatkan situasi.”
Barang-barang itu adalah kepunyaan pemilik toko di seberang perbatasan. Dengan memakai jasa para penduduk desa perbatasan yang bebas hilir mudik jembatan internasional ini tanpa visa, mereka bisa menekan pajak bea cukai. Barang terlarang pun bisa dibawa ke China kalau bisa menembus pos ini. Tetapi polisi yang menjaga sungguh awas. Sedikit saja gerak-gerik mencurigakan, dia pasti bisa menemukan. Hanya sepuluh menit saya di perbatasan ini, si polisi wanita sudah menangkap lebih dari tujuh pelintas batas yang merangkap menjadi penyelundup barang.
Di seberang perbatasan sana adalah Nepal yang masih berkutat dengan kemiskinan, gerakan gerilyawan, dan kemelut pemerintahan. Angka pendapatan rata-rata penduduk masih berkutat di kisaran ratusan dolar per tahun. Sedangkan raksasa China sudah bersiap-siap menyambut masa depan yang gemilang di abad milenium.
Dengan segala kenangan pahit dan manisnya petualangan di Tibet, saya melangkahkan kaki menyeberangi Jembatan Persahabatan. Tentara berpakaian hijau berdiri tegap di sisi gerbang negara. Tulisan besar “Republik Rakyat China” dalam huruf China berwarna kuning emas terpatri di atas gerbang. Bendera merah dengan lima bintang berkibar gagah. Di belakangnya bukit kecil yang terbungkus pepohonan hijau yang lebat.
Di belakangnya, tersimpan semua kenangan saya tentang lima tahun lebih hidup di negeri itu, tentang siksaan perjalanan di atas kereta api dan bus berhari-hari, tentang materialisme yang menerjang tradisi dan ritual, tentang kejujuran, cinta kasih, impian menjadi negeri adikuasa, kebanggaan akan sejarah dan masa depan, gunung-gunung salju, puncak dunia, kepasrahan, makanan lezat penuh minyak, teh yang tak pernah berhenti mengalir .... semuanya tersimpan di balik perbukitan hijau Zhangmu ini. Semua tersimpan begitu indah dalam kenangan saya. Entah kapan lagi saya bisa mengorek kembali ke negeri ini. Dan selang berapa tahun kemudian, saya tak yakin masih akan mengenali negeri yang selalu berubah setiap menit ini.
Saya melangkah ke arah Nepal, negeri mungil yang terjepit dua raksasa. Sisi jembatan itu tampak tak karuan. Orang bebas lalu lalang, membawa barang gembolan berkarung-karung di atas kepala. Saya memutar mundur arloji saya, dua jam lima belas menit ke belakang, menyesuaikan dengan zona waktu Nepal yang aneh. Tepat di tengah jembatan, saya berbalik ke arah China, memandang sekali lagi kibaran kejayaan bendera merah itu. Saya memotret.
Sial. Kamera saya rusak.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!