Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (40): Bhaktapur

Kompas.com - 26/09/2008, 08:09 WIB

           “Jangan lupa,” kata seorang sadhu yang bisa berbahasa Inggris, “besok lusa kamu harus kembali ke Kathmandu. Ada perayaan besar di Lapangan Hanuman Dhoka.”

Saya sudah tak ingat lagi apa nama festival yang disebutnya. Nepal adalah negeri Hindu. Jumlah dewa-nya lebih banyak dari penduduknya. Bayangkan, ada 300 juta lebih dewa menurut keyakinan mereka, padahal jumlah penduduknya tak sampai 30 juta. Tak heran, hampir setiap hari ada perayaan. Di Bhaktapur pun hari ini saya terjebak parade tari-tarian perempuan yang merayakan ulang tahun salah satu istri Dewa Krishna. Lagi-lagi, saya tak ingat namanya. Dewa Krishna punya 16.108 istri, moga-moga tidak semuanya harus dirayakan ulang tahunnya. Krishna sangat dipuja, karena ia adalah titisan dari Wishnu atau Narayana.

           “Ram Ram Govinda.... Ram Ram Govinda..Narayan...Narayan....” para perempuan berbaju sari warna-warni melenggak-lenggok gembira, mengiri tetabuhan yang berharmoni.

Govinda dan Narayana adalah nama lain Dewa Wishnu. Gerakan mereka sangat lincah. Nyanyian mantra pun begitu merdu. Bak karnaval, para wanita mulai dari gadis hingga ibu-ibu, berparade keliling kota. Di bagian tengah adalah para penari, di kanan dan kiri adalah barisan ‘pagar ayu’.

Tak jauh dari parade pemuja Wishnu, di sisi lain kota, di lapangan tukang tembikar, pandita Brahmana berbaju kuning sambil melantunkan jampi-jampi melemparkan sesajian, mulai dari biji-bijian, bunga beraneka warna dan bentuk, hingga apel, dan pisang, ke arah api suci yang membara. Sang pandita dikelilingi seratusan umat, ikut melantunkan mantra suci yang diiringi musik tetabuhan. Pandita lain membagikan prasad – bunga dan sesajian – untuk berkat bagi para umat.

Di negeri yang penuh dengan festival, perayaan, upacara agama ini, sulit sekali mengetahui acara apa yang sedang berlangsung. Bahkan penduduk setempat pun sering kali tidak tahu hari besar apa yang dirayakan setiap hari. Mereka menjalani semua perayaan, gegap gempita acara keagamaan dan parade tarian, seperti rutinitas sehari-hari.

Tepat di sebelah umat yang sibuk beribadah dalam upacara akbar, para tukang tembikar sama sekali tak terpengaruh. Mereka sibuk menjemur pot tanah liat di lapangan. Kurva-kurva coklat beraturan, mulus dan halus, berbaris di bawah terik matahari. Upacara besar di samping ini seperti sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari.

Bhaktapur membuat saya merenungkan betapa besarnya pengabdian rakyat kota kuno ini pada agama, pada kepercayaan yang mereka anut, pada kekuasaan yang mereka agungkan. Mereka seakan tak peduli betapa banyak waktu, tenaga, dan uang yang dihabiskan untuk setiap upacara keagamaan yang meriah dengan frekuensi hampir setiap hari, karena spiritual sudah menjadi bagian dari hembus nafas mereka.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com