Tetapi hati saya sudah padam. Kemeriahan ini sudah tak mampu mengembalikan roh saya yang menghablur karena dompet yang hilang.
“Sudahlah,” kata Qingqing, “jangan terlalu dipikir. Yang hilang biarlah berlalu. Lebih baik kamu nikmati perayaan ini, daripada nanti menyesal.”
Baru tiga puluh menit berikutnya saya mampu menorehkan sedikit semangat lagi, mengangkat kamera dan memotret. Dari mulut Seto Bhairab, gemericik jaand mengalir melalui pipa lurus. Bukan tersembur seperti air mancur, seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Para pria berebutan untuk menenggak minuman beralkhol dari mulut dewa itu.
Karena terlalu tinggi, setiap kelompok lelaki mengusung satu orang, dibawa berlari ke bawah kericikan jaand, untuk menenggak alkohol yang menjamin peminumnya tidak sakit selama setahun penuh. Suasana ricuh karena setiap kelompok saling menerjang untuk menjadi yang paling dulu dan paling lama di bawah siraman jaand.
Melihat saya yang masih lesu, Qingqing membawa saya ke lapangan Basantpur Chowk di depan Freak Streat.
“Keluarkan semua perasaanmu. Berteriaklah sekuat-kuatnya,” Qingqing menganjurkan. Melihat saya yang masih ‘kosong’, Qingqing berteriak duluan.
Di bawah sinar rembulan yang membilas gedung-gedung tua, di tengah keramaian orang-orang yang gembira, kami berteriak bersama-sama. “HAAAAAAAAAAA!!!! HAAAAAAAA!!!!”
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!