Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (45): Dewi Hidup

Kompas.com - 03/10/2008, 07:33 WIB

Kumari Devi dibalut baju merah menyala. Mahkotanya membumbung tinggi, berhias bunga-bungaan raksasa. Matanya yang besar dikelilingi celak hitam. Di dahinya tergambar mata ketiga – agni chakchu atau ‘mata api’, pertanda suci kedewiannya.

Tetapi, di lubang jendela, saya melihat dua pasang mata gadis Kumari yang sama persis. Bukankah Kumari Devi hanya ada satu?

Mungkin yang saya lihat bukan Kumari, melainkan dua pengiringnya yang berdandan sama persis – Bhairab (Bhairawa) dan Ganesh (Ganesha). Kedua gadis titisan Bhairab dan Ganesh juga menjalani proses pemilihan yang sama seperti Kumari, tetapi tak perlu menjalani aturan seketat sang dewi.

Ketiga gadis suci diarak dengan kereta kencana memasuki istana. Raja Gyanendra dan keluarga datang dengan mobil, langsung memasuki tempat sembahyang di istana Gaddi Baithak yang bergaya arsitektur Viktorian.. Para diplomat dan tamu asing menonton dari balkon istana megah itu. Pengawal kerajaan yang mengawal tamu kehormatan berpakaian tradisional – jubah jodhpur kombor putih bersih dengan celana yang ketat, jas hitam, dan topi – peci orang Nepal.

Saya terkesima oleh gagahnya pasukan Gurkha yang berbaris di hadapan istana. Mereka adalah prajurit pilihan. Semuanya tinggi, gagah, dan tampan. Bahkan tentara Gurkha perempuan pun tegas dan memesona. Di belakang pinggang, tersemat pisau khukuri berujung bengkok, senjata Gurkha yang mematikan.

Tak lama kemudian, Raja Gyanendra keluar lagi dari istana, melambaikan tangan ke arah penduduk, masuk ke dalam mobil kerajaan dan langsung meninggalkan lapangan. Lhake, penari bertopeng seram dan berambut gimbal, memulai arak-arakan kereta kencana yang ditumpangi Kumari. Tetabuhan membahana. Suasana lapangan menjadi meriah.

Hari ini Kumari, Bhairab, dan Ganesh akan berkeliling memberkahi seluruh penjuru kota. Parade tari-tarian dan tetabuhan menyusuri jalanan kota kuno Kathmandu yang sempit, membawa kegembiraan ke sudut-sudut kota. Lhake menari dengan penuh semangat. Penduduk pun bersuka cita, mencoba menyentuh kereta yang ditumpangi dewi. Menyentuh kereta ini pun dipercaya akan memberikan berkah.

Menjelang senja, setelah mengitari kota berjam-jam, kereta kencana Kumari sampai kembali ke Lapangan Basantpur. Penduduk pun berebutan memberi hormat kepada ketiga dewi muda ini, dan banyak pula yang memotret. Sungguh kasihan, dua jam duduk di dalam kereta, diterpa kilatan lampu flash yang tanpa henti, mereka tak menunjukkan ekspresi apa pun.

Malam hari, Kumari baru diturunkan dari kereta, dibopong lagi ke istananya karena kaki sucinya tak boleh menginjak tanah. Wajah mereka tampak pucat kelelahan, tanpa ekspresi. Kembalilah ia kepada kehidupannya yang sunyi, sebagai dewi yang dipuja dalam penjara istana megah. Tetapi pesta belum usai. Tari-tarian dan tetabuhan masih terus membahana. Dari mulut Seto Bhairab masih tersembur alkohol jaand, dan kaum lelaki berebutan meneguk siraman air suci yang memabukkan.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com