Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (62): Badai

Kompas.com - 28/10/2008, 09:21 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Ziarah ke tempat-tempat suci bukan hanya berkunjung dan berdoa. Setiap langkah dalam ziarah ada maknanya. Setiap tapak kaki adalah penyucian diri. Orang berjalan menempuh ratusan kilometer melewati alam yang tak selalu bersahabat, untuk mencapai tanah suci di Muktinath.

Para peziarah ini banyak datang dari India. Ada rombongan sadhu berjubah kuning, bersandal jepit, berjenggot putih nan lebat. Ada barisan bikuni Tibet, berjubah merah marun, berambut hampir botak. Ada pula umat jelata, mencari kesembuhan dan mukjizat di tempat suci. Yang paling banyak adalah rombongan turis dengan berbagai macam tujuan – mencari arti hidup, menikmati kedahsyatan gunung raksasa, menjelajah Shangrila dan negeri yang hilang, berziarah di kuil kuno, memotret, menghabiskan liburan, melaksanakan misi keliling dunia, membebaskan diri sehabis wajib militer, pendekatan dengan pacar, dan lain sebagainya.

Hikmah dari ziarah suci bagi tiap orang, setelah melintasi jarak yang jauh dan medan yang berat, tentunya berbeda-beda pula. Ada yang puas, telah berhasil ‘menaklukkan’ tantangan. Ada yang terpekur oleh kebesaran alam. Ada pula yang hanya capek dan tak berhenti mengomel.

Saya berjalan lambat-lambat ke arah Jomsom. Setelah Thorung La, yang ada cuma turun dan terus turun, kembali ke habitat normal di dataran rendah sana. Kalau sebelum melintas Thorung La, setiap perjalanan saya hanya terus memikirkan angka ketinggian, betapa beratnya naik, dan betapa jauhnya desa berikutnya, setelah lewat puncak tinggi itu, jiwa saya rasanya lepas. Lega.

Perjalanan ini begitu indah, ketika kita hanya berjalan, tak lagi memikirkan target jarak, waktu, tujuan. Lekak-lekuk sungai Kali Gandaki nampak sempurna. Bukit-bukit cadas berwarna kelabu pun cantik. Peziarah Hindu dan Budha seakan mengingatkan, trekking bukan sekadar trekking, ziarah bukan sekadar ziarah. Lintasan berat ini adalah gambaran perjalanan hidup manusia – lepaskan bebanmu, berjalanlah sebebasnya, dan engkau akan semakin menikmati hidupmu.

Turun dari Muktinath, lanskap kering dan gersang. Gunung cadas perkasa berdiri di kanan kiri. Gua bertebaran di tebing yang curam di hadapan.

          “Dulu di sana memang ada orangnya,” kata seorang pemuda dari Dusun Khingar yang wajahnya mirip orang Tibet, “Saya pernah ikut tim arkeologi Jerman meneliti kehidupan gua itu.”

Pemuda itu bercerita bagaimana susahnya untuk masuk ke gua di puncak tebing yang tegak lurus. Tim arkeolog harus memanjat dengan tambang, seperti atlet olah raga panjat tebing. Manusia purba hidup di dalam gua, yang semula tak terlalu jauh dari permukaan bumi. Evolusi daratan terus berjalan, dan sekarang lubang-lubang gua itu ratusan meter tingginya dari tepi sungai.

Satu jam perjalanan dari Khingar, kami sampai di pertigaan. Yang ke kanan menuju Kagbeni, yang ke kiri Jomsom. Kagbeni adalah lembah hijau yang menjadi batas akhir dunia. Di utara Kagbeni adalah negeri terlarang Mustang, negeri kuno misterius yang hidup dalam dunianya sendiri. Pemerintah Nepal menetapkan Mustang sebagai restricted region. Orang asing yang masuk ke sana harus membayar permit 700 dolar, ditambah lagi aturan grup wisata yang ketat, untuk mengurangi pengaruh buruk turisme di tempat misterius yang tak banyak lagi sisanya di muka bumi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com