Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (62): Badai

Kompas.com - 28/10/2008, 09:21 WIB

Ke arah Kagbeni-lah Oi Lye melangkah. Kami berangkulan, sungguh berat rasanya berpisah.

          “Moga-moga kita berjumpa kembali, di suatu tempat, di suatu waktu,” katanya, “tetaplah menjaga hubungan, adikku.”

Saya mengenal Oi Lye hanya dalam perjalanan ini. Kami bersama-sama merasakan perjuangan perjalanan ini, saling menguatkan bila ada yang terjatuh, saling belajar tentang arti hidup. Perpisahan, bagi pengembara adalah hal yang biasa. Tetapi tak jarang, rasa pedihnya terasa juga.

Saya dan Jörg terus berjalan ke arah Muktinath. Kami tak banyak bicara. Saya tak lagi bertanya pada Jörg yang memegang peta Annapurna, “Masih berapa jauh? Masih berapa lama?” Kami hanya berjalan dalam bisu, mengagumi kebesaran alam yang terhampar. Betapa Thorung La telah mengubah saya lahir batin.

Saya sekarang melihat dunia dengan mata yang berbeda. Dulu, hanya mengasihani penduduk yang harus tinggal di medan berat seperti ini. Sekarang, saya jadi sadar bahwa setiap pencipataan ada maknanya. Memang hidup di tempat terpencil seperti ini tidak mudah, tetapi penduduk setempat punya dunia mereka sendiri. Shangrila mereka, surga mereka.

Setelah melintasi dusun Eklabati, alam berubah menjadi gurun gersang dikelilingi tebing tinggi, kering dan merana. Tepat setelah pukul 11 siang, alam yang damai berubah menjadi desingan badai. Angin menderu ribut, menerbangkan debu dan kerikil, menghantam kaki peziarah, membutakan mata. Dinginya menusuk, terpaannya menampar wajah.

Kalau sebelum Thorung La perjalanan sebagian besar adalah naik turun bukit terjal, sekarang saya melintasi tanah lapang bagai padang pasir yang luas, datar dalam artinya yang paling harafiah. Tetapi, setiap potongan perjalanan punya tantangannya sendiri. Padang ini pun tak mudah dilalui. Sesekali angin kencang tak mengizinkan kaki melangkah maju. Sesekali bulir pasir menyerodok masuk ke dalam hidung, membuat saya tersedak. Mulut dipaksa menelan bulir pasir yang pahit, mengisi setiap rongga gigi. Mata saya terpejam, tak mungkin lagi melawan badai.

Dari arah berlawanan, barisan peziarah Hindu dan Budha dari India melintas. Mereka pun melangkah maju melawan badai. Badai harian yang menghantam bantaran sungai Kali Gandaki yang mengering ini tak pernah pilih kasih. Yang datang dari bawah maupun dari atas semua dihajar. Sesekali angin berhembus searah, membuat langkah terasa ringan bagaikan terbang. Namun tak jarang, badai dari arah berlawanan menghajar, menghentikan langkah, membekukan semangat. Tetapi, kaki para peziarah yang hanya bersandal jepit tetap melangkah, setapak demi setapak, di atas batu-batuan, melawan terpaan angin keras. Alam memang dahsyat, tetapi manusia terus berjuang.

Bukan hanya badai yang membuat jalan datar ini jadi susah. Karena datar dan luas, lintasan jalan setapak pun tak terlihat. Sebelumnya, dalam pendakian menuju Thorung La, hanya ada seruas jalan, sempit namun jelas. Sekarang, segala penjuru bisa menjadi lintasan. Kalau tak hati-hati, kita akan terjebak jeram sungai deras yang tak terlihat karena tertutup batu. Berkali-kali saya berbalik memutar, gara-gara sungai deras yang tak terlihat dari kejauhan. Saya tersesat, dalam terpaan badai menuju Jomsom.

Potongan hidup yang kelihatannya mudah, sebenarnya tak selalu mudah untuk dijalani.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com