Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (66): Lumbini

Kompas.com - 03/11/2008, 07:55 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Setelah mendapatkan visa India, saya langsung menggeret Nefransjah – seorang kawan backpacker Indonesia, untuk bersama-sama berangkat menuju negeri Hindustan.

Perbatasan India dan Nepal yang paling sering dilintasi adalah Sunauli, terletak tiga kilometer di selatan kota Bhairawa yang panas dan kering. Debu langsung memenuhi kerongkongan, begitu kami meloncat dari bus.

Lurus ke selatan adalah India. Belok ke kanan adalah Lumbini – tempat kelahiran Budha. Saya menganjurkan untuk singgah dulu ke Lumbini, bermalam di kota suci itu, dan melanjutkan ke India esok hari. Langit sudah mulai gelap, kendaraan pun tak banyak. Masuk ke negeri yang sama sekali asing di tengah kegelapan malam tentunya bukan hal yang menyenangkan.

Jalan berdebu ke arah Lumbini sunyi senyap, tak ada kendaraan ke arah desa kecil itu. Hanya turis dan peziarah Budha yang ke sana. Sebagian besar kendaraan umum dan truk barang hanya menuju ke India, negara tetangga raksasa yang menawarkan gelimang kemakmuran.

Bulan purnama bersinar, menerangi malam yang berdebu. Saya, Nef, dan seorang backpacker Israel terguncang-guncang di bak truk melintasi jalan batu menuju Lumbini.

Lumbini sungguh berbeda dengan kota Nepal kebanyakan. Biksu Budha dari berbagai negara ada di sini.

          “Biksu, apakah Anda tahu tempat di mana besok pagi hari kami bisa memotret sunrise yang paling bagus?” Nef bertanya kepada seorang pria botak berjubah kuning. Sang biksu, seperti sudah diduga, tidak tahu.

Tak ada yang benar-benar kuno di bangunan yang nampak di Lumbini hari ini. Tempat kelahiran Budha Gautama ini baru ditemukan di akhir abad ke-19 oleh arkeologis Nepal. Petunjuknya berasal dari tiang pilar Asoka, bertulis huruf Pali yang isinya bahwa di sinilah tempat lahir Sang Budha. Di sekitar tempat itu kemudian ditemukan pohon Bodhi suci, bekas kolam dan kuil Mayadewi. Yang disebut terakhir kemungkinan adalah tempat Sang Budha terlahir.

Mengenai tempat kelahiran Budha, ada beberapa tempat di India yang punya klaim serupa. Tetapi pilar Ashoka di Lumbini menjadikan kota ini sebagai kandidat terkuat. Pilar, kuil, dan kolam dibangun kembali di tempat ini. Lumbini menjadi tempat ziarah penting umat Budha dari seluruh dunia, bersama dengan Kapilawastu, Bodh Gaya, dan Sarnath di wilayah India.

Nuansa ‘internasionalisme’ itu terasa di kota kecil ini. Negara-negara Budha mendirikan kuilnya masing-masing. Kuil Budha Thailand megah menjulang, membawa detail kecantikan arsitektur khas negeri Siam. Pagoda Burma berwarna emas, berbentuk gemuk menggapai angkasa. Nefransjah begitu terpesona ketika memasuki kuil China Zhonghua Si. Saya terkagum-kagum oleh bunyi genderang biksu Vietnam yang bersembahyang pagi di kuilnya. Masih ada lusinan kuil lain – Mongolia, Bhutan, Tibet, Kamboja, Jepang, India, Korea, bahkan Perancis.

Tak lama kami di Lumbini, sudah harus bergegas menuju pintu gerbang India di perbatasan Sunauli.. India dan Nepal memberlakukan aturan perbatasan yang unik. Penduduk kedua negara bebas menyeberang tanpa perlu menunjukkan kartu identitas apa pun, seolah-olah tak ada garis batas yang memisahkan kedua negara. Istilahnya, open border. Keluhan di sana-sini tentang keamanan Nepal yang memburuk dengan datangnya imigran miskin dari India dan kekhawatiran India disisipi gerilyawan Maois dari Nepal, menyebabkan perbincangan kedua negara untuk memperketat perbatasan.

Begitu melewati pintu Nepal yang baru dan bergaya etnik, pintu gerbang India yang bobrok, dari tumpukan batu bata menyambut. “Selamat Datang di India”.. Salah satu kekuatan ekonomi dunia ini ternyata punya wajah yang begitu buruk di pintu gerbangnya.

Lewat pintu ini, sebuah dunia yang sama sekali lain langsung menyambut. Pasar yang campur aduk dan kumuh, penuh dengan sapi yang melenggang santai di mana-mana. Jalan penuh lobang dan genangan air. Orang lalu lalang di mana-mana. Negara ini memang penuh manusia.

Pos imigrasi India terletak seratusan meter dari pintu gerbang, tersembunyi di antara himpitan toko kumuh. Kalau tidak hati-hati, mudah sekali terlupa. Orang India dan Nepal memang bebas keluar masuk tanpa paspor, tetapi orang asing yang lupa mengecapkan paspornya akan mendapat hukuman berat ketika meninggalkan negeri ini.

Kami menumpang bus yang penuh sesak menuju kota Gorakhpur, 70 kilometer dari Sunauli. Dari sini ada kereta api yang langsung berangkat ke Delhi.

Stasiun kereta api Gorakhpur adalah kejutan awal India bagi saya. Stasiun ini penuh sesak dengan manusia, tak terbandingkan dengan stasiun mana pun di China sekali pun. Orang tidur di mana-mana. Bau pesing menusuk hidung. Sapi melenggang santai di ruang tunggu, tak ada yang berani menghalau. Bocah-bocah pengemis berambut gimbal, dengan nada meratap dan menangis, memeluk erat-erat kaki saya, terseret ke mana pun saya melangkah. Bagaimana hati ini tak iba melihat para bocah pengemis ini yang sampai menciumi kaki orang – lambang penghormatan tradisi Hindu India – hanya untuk mendapatkan sekeping uang Rupee? Tetapi begitu sekeping uang Rupee terlempar, puluhan anak lainnya langsung datang menyerbu, menerapkan taktik yang sama, merendahkan martabat dengan menciumi kaki.

Kereta api merapat. Orang-orang dengan tak sabar, tanpa sedetik pun yang bisa dibuang, berloncatan masuk dengan beringas. Pertama kali pula saya melihat keberingasan para penumpang. Saring dorong, pukul, desak, hanya untuk bisa masuk ke dalam kereta. Yang lebih ganas lagi masuk lewat jendela. Untungnya tak sampai ada yang duduk di atap kereta seperti di Jakarta.

Mengapa harus berdesakan? Para penumpang ini adalah mereka yang tak kebagian tiket tempat duduk. Adu jotos pun diperlukan kalau ingin tempat yang nyaman. Perjalanan ke New Delhi tidak main-main, semalam suntuk. Saya pun termasuk kategori penumpang tanpa karcis penuh, berimpitan dalam kereta sesak penuh orang.

India, dengan penduduk lebih dari semiliar, wajahnya begitu nyata. Di kereta penuh sesak ini, bahkan berdiri pun susah karena terlalu banyak orang. Waktu tidur, saya memeluk semua barang, karena kereta ini rawan pencuri dan pencopet. Sepasang kaki bau menempel di wajah saya, dan kaki saya menindih perut seorang pria berkumis.

Kejutan India belum berakhir di sini.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Jalan Jalan
Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Travel Update
Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Travel Update
Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Jalan Jalan
10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

Jalan Jalan
Tanggapi Larangan 'Study Tour', Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Tanggapi Larangan "Study Tour", Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Travel Update
Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Travel Update
Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Travel Update
Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Travel Update
World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

Travel Update
Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Travel Update
Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Travel Update
5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

Jalan Jalan
Pantai Lakey, Surga Wisata Terbengkalai di Kabupaten Dompu

Pantai Lakey, Surga Wisata Terbengkalai di Kabupaten Dompu

Travel Update
Bali yang Pas untuk Pencinta Liburan Slow Travel

Bali yang Pas untuk Pencinta Liburan Slow Travel

Travel Tips
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com