Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (67): Culture Shock

Kompas.com - 04/11/2008, 08:42 WIB

          “Bhai, tunggu sebentar di sini ya,” katanya, “saya ada urusan sebentar. Satu menit lagi saya kembali. One minute. Tunggu ya.”

Pelajaran pertama: jangan pernah percaya dengan one minute-nya orang India. Lima belas menit berselang, sopir itu tak kembali lagi. Saya harus jalan kaki dari bandara Safdarjang sampai ke KBRI di Chanakya Puri, di bawah terik matahari bulan Oktober. Ditambah lagi diare sedang kumat. Duh!

Berurusan dengan penarik rickshaw di New Delhi memang cukup menyebalkan. Waktu saya membaca City of Joy, saya sangat bersimpati dengan penarik rickshaw dari Kalkuta, kelas bawah dari masyarakat India yang hidup terlunta-lunta, merusak tubuh sendiri demi sesuap nasi. Tetapi melihat perilaku sopir rickshaw bermesin di New Delhi, rasa simpati itu langsung ambrol.

Teknik paling menyebalkan yang sering dimainkan adalah pura-pura tidak punya uang kembalian. Masa membayar ongkos yang 40 Rupee dengan selembar uang 100 Rupee, si sopir bisa dengan angkuh berkata, “Maaf, tidak ada uang kecil.” Apakah sopir rickshaw hanya berurusan dengan uang besar saja? Sering kali penumpang harus keki karena tidak diberi uang kembali.

Teknik lain adalah tidak membawa kita ke tujuan. Biasanya sasaran empuknya adalah orang asing, terlebih lagi yang baru pertama kali ke India dan masih ‘hijau’. Seperti sopir Sikh bersurban yang membawa saya ke toko suvenir. Dari sana mereka menerima komisi.

Mentalitas tipu-menipu seperti ini ternyata bukan cuma monopoli sopir rickshaw. Yang bekerja di bidang jasa pun sering bermain-main dengan ketidaktahuan konsumen. Misalnya kalau Anda berjalan menyusuri pasar ramai Paharganj, Anda akan terkesima melihat barisan papan warnet yang menampilkan harga yang tak masuk akal.

“Lima Rupee”,  “Sepuluh Rupee”,  malah ada yang “GRATIS”! Kalau Anda berpikir penawaran ini sukar dipercaya, memang begitulah adanya. Papan besar dengan harga ‘miring’ itu sebenarnya masih ditambahi tulisan kecil yang nyaris tak terbaca “untuk penggunaan lima menit pertama.” Demikian juga untuk wartel. Jangan mudah terkecoh oleh harga murah yang dipasang di papan pengumuman. Harga itu masih belum termasuk pajak aneh-aneh, yang kalu dijumlah total semua harganya malah berlipat tiga.

Sebuah papan pengumuman dari polisi di Benteng Merah New Delhi bertuliskan: “Jangan menerima segala jenis makanan (pisang, apel, teh, kopi, soft-drinks, dan sebagainya) dari orang tak dikenal, karena mungkin mengandung racun dan Anda bisa kehilangan uang, dompet, kamera, dan barang berharga. Kami ingin Anda selamat”

Di antara semua kejutan kultural, yang paling membuat mual adalah bau pesing yang menusuk hidung sampai ke lipatan otak yang paling dalam. Bau pesing ini, sekali terhirup, akan melekat terus dalam memori sampai kita bangun keesokan harinya.

Di sini, banyak orang yang berpikiran bahwa seluruh muka bumi ini bisa dijadikan toilet. Tembok, trotoar, gang, sudut jalan, gunungan sampah, semuanya pesing. Bahkan toilet umum di pinggir jalan pun digenangi luberan air hitam. Para pengunjung toilet dengan santai membuang air persis di sebelah toilet, di luar. Ada yang jongkok, tapi kebanyakan berdiri. Yang punya rumah di pinggir jalan tak kehilangan akal. Temboknya dipasangi gambar dewa-dewi supaya aman dari orang yang pipis sembarangan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com