Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (86): Perang Omlet (2)

Kompas.com - 01/12/2008, 08:00 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Kios omelet di depan pintu gerbang jam kota Jodhpur memang nampak biasa dari kejauhan. Yang tidak biasa adalah persaingan sengit di antara mereka gara-gara sebuah buku panduan turis berjudul Lonely Planet.

“Terletak di pintu gerbang utara menara jam kota Jodhpur, kios omelet ini memang tampak seperti kios biasa. Tetapi konon mereka berhasil menjual 1.000 telur per hari dan penjualnya sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama 30 tahun.” Demikian Lonely Planet India menulis tentang toko omelet ini di bagian “Tempat Makan” di kota Jodhpur. Sebuah paragraf yang bahkan saya lirik pun tidak, tetapi gara-gara mendengar kisah persaingan seru kios-kios omelet di sekitar jam kota, saya pun tertarik membaca.

Sebait paragraf sederhana ini, ditambah lagi informasi tentang pedasnya omelet dan harganya yang murah, ternyata berarti luar biasa bagi bapak tua pemilik warung. Kepalanya sedikit botak, kaca matanya tebal, dan dengan bangga ia berkata, “saya sudah bekerja 33 tahun!”

Seperti di warung sebelah, pemilik warung ini juga lebih sibuk menunjukkan testimoni kejayaannya daripada menyajikan omeletnya. Saya disuguhi dua lembar fotokopian ukuran besar dari halaman Lonely Planet yang menyebut tokonya, dilaminating pula. Ini adalah kebanggaannya yang paling besar. Paragraf itu di-highlight, bagian ‘wajib baca’ untuk semua turis yang bertandang ke Jodhpur.

Pemilik warung menunjukkan koleksi ratusan foto yang tersimpan dalam album besar, bukti kunjungan para turis yang berfoto bersama dengan dirinya. Agak membosankan, karena semua foto itu menunjukkan warung yang sama, warung yang ini-ini juga. Tetapi bagi sang pemilik, betapa tak terhingga nilainya album foto ini.

Belum puas dengan foto, masih ada lagi koleksi kartu pos yang dikirim oleh penggemar omeletnya dari seluruh penjuru dunia, mulai dari Amerika, Eropa, hingga Australia.

Saya disuguhi buku testimoni. Seperti yang saya duga, jumlahnya bertumpuk-tumpuk. Bagaimana tidak, semua orang asing yang makan di sini disuruh menulis.

Sebagian besar komentar di buku itu memang memuji kelezatan omelet bikinan bapak tua. Buat saya membosankan. Omelet saja sampai perlu ribuan pujaan seperti ini, yang sampai dibukukan, dijilid, disampul, dilaminating. Mungkin suatu hari nanti malah akan dicetak dan dijual di toko buku.

Tetapi ada halaman komentar yang membuat saya cukup tercengang. Tertulis dalam huruf Mandarin, penuh nada kemarahan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com