Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (88): Mehrangarh

Kompas.com - 04/12/2008, 06:26 WIB

          “Daripada bayar mahal-mahal untuk lihat benteng, lebih baik kita mengelilingi benteng ini saja,” usul Lam Li. Karena gratis, tak ada alasan untuk menolak.

Bakat mendaki Lam Li memang membuat saya acungi jempol. Bahkan dengan rok panjang sekali pun, ia tak mengalami kesulitan melompati batu-batu karang besar di tepi jurang. Sedangkan saya malah membuatnya kesal karena merayap perlahan-lahan.

Kesenangan berjalan-jalan tidak selalu datang dari tempat-tempat berbayar yang ramai dikunjungi turis. Buktinya, di luar tembok benteng ini, kami malah melihat sisi lain yang tak semua orang tahu. Ada kolam berlumut yang menghampar. Ada gerbang besar dan pintu rahasia di atas, yang setelah susah payah kami daki dengan penuh harapan untuk masuk gratis, ternyata dikunci gembok. Tetapi yang paling menarik adalah dua pemuda yang bolos sekolah.

Jaswant berumur 17 tahun. Temannya 16. Mereka satu kelas, membolos berbarengan. Jaswant lupa mengerjakan tugas biologi. Temannya menemani bolos sebagai wujud solidaritas.. Di sudut benteng di puncak bukit ini, di balik tembok rusak, mereka duduk bermandi sinar matahari, merokok sembunyi-sembunyi.

Kedua bocah ini dari kasta Brahmin, bisa ditebak dari cara berpakaian, warna kulit, dan raut wajah mereka yang serba bagus. Juga ada lingkaran benang suci di pergelangan tangannya. Kasta Brahmin seharusnya tidak boleh makan daging dan merokok.

          “Bapakku sangat ketat,” kata Jaswant, “kalau melihat aku di sini merokok pasti aku akan dipukul.” Jaswant juga suka makan daging ayam dari warung di jalan, dengan sembunyi-sembunyi juga tentunya.

Tiba-tiba Jaswant mengalihkan pembicaraan, giliran dia yang mewawancari Lam Li, “Sudah kawin? Sudah punya pacar?” Namanya juga masih anak-anak, tak sukar bagi kami untuk membalikkan arah pembicaraan, membuatnya berkisah lebih banyak tentang kehidupannya. Ia bercerita tentang aturan ketat orang Brahmin yang pernikahannya pasti diatur orang tua.

           “Aku tak mau kawin dengan cara itu,” katanya, “aku mau kawin hanya dengan pacar saya. Dan kalau bapak ibuku tidak setuju, aku mau kawin lari.”
           “Hah? Kawin lari? Lari berapa tahun?” saya terkejut.
           “Satu malam saja sudah cukup.. Aku yakin satu malam sudah bikin bapak memaafkanku, jadi sudah cukup,” ujarnya yakin.

           “Kamu tahu tempat bernama Ghasmandi?” tanya Jaswant kepada saya, “Pernah pergi ke sana? Tempatnya tak jauh dari Menara Jam. Kalau mau bersenang-senang di sana tempatnya. Cukup dengan 50 Rupee saja, kita bisa tidur dengan perempuan.” Jaswant dengan bangga bercerita hampir setiap malam ia ‘jajan’ di sana.
          “Kamu tak takut AIDS?” tanya Lam Li.
          “Tidak, aku kan pakai kondom,” Jaswant menangkis, lalu dilanjutkan dengan menawari saya untuk ikut bersama dengannya ke Ghasmandi nanti sore.
          “Hati-hatilah selalu, jangan lupa pakai yang double layer,” Lam Li tergelak.

Kami memutuskan turun bukit. Baru saja beberapa langkah, Jaswant berteriak-teriak, memanggil Lam Li. Si gadis Malaysia kembali mendekat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com