Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (94): Bukan Orang Suci

Kompas.com - 12/12/2008, 05:35 WIB

Nampaknya, pandita atau ‘orang suci’ di kuil ini sudah sedemikan terkenalnya menerima uang dari para pengunjung, sampai-sampai pihak kuil menulisi kotak sumbangannya dengan pesan itu. Dengan tulisan peringatan yang tersebar itu pun sama sekali tak mengurangi hobi pandita atau ‘orang suci’ ini untuk meminta sumbangan dengan nada setengah memaksa, khususnya dari turis asing yang dianggap berdompet tebal.

          “Sumbangan, Sir,.... sumbangan.....,” pandita bercelana dhoti-kurta yang kombor warna merah oranye ini, merengek. “sumbangan ini bukan buat saya sendiri, tetapi akan saya dibagikan untuk seluruh kuil.”

Saya menunjuk ke arah himbauan untuk tidak memberi uang pada pandita. Orang itu tak kehabisan akal.

          “Tetapi saya ini bukan ‘orang suci’. Saya ini Brahmin,” sambil menunjukkan tali putih yang melingkar dari pundak hingga pinggangnya – tali janeu yang menunjukkan ke-Brahmana-annya. Tali itu yang menjadi buktinya bahwa ia termasuk golongan yang ‘berhak’ menerima sumbangan langsung.

Tetapi tidak semua orang di kota turis melulu mengincar uang belaka,. Polu, pemilik pemondokan Titanic di dekat gerbang benteng, mengizinkan saya menginap gratis di ruang bawah tanah. Satpam di puncak istana maharaja mengizinkan saya memotret lautan rumah berwarna kuning emas walaupun saya tak punya karcis kamera (yang mahal sekali), semata-mata karena saya bisa bahasa Hindi dan langsung dianggap saudaranya sendiri.

Benteng-kota kuno ini terus berbenah, mempercantik dirinya. Istana-istana yang dulunya ambruk, kini diperbaiki. Hotel dan biro wisata terus bermunculan. Tetapi masih ada secuil masa lalu yang terus bertahan di tengah modernisasi.  

Unta, bukan hanya alat angkut, juga berfungsi sebagai pembuat adonan semen. Binatang yang biasanya tampak lamban, mengunyah makanan dengan malas, tak banyak bergerak ini, sebenarnya punya tenaga yang besar dan sangat garang di alam padang pasir seperti ini.

Setiap pagi, para tukang bangunan menyiapkan pasir dan air, dituang dalam cekungan sepanjang lingkaran berdiameter empat meter.. Dalam lingkaran ini, dipasang roda batu besar, diikatkan dengan tali ke kaki unta di luar lingkaran dan bertumpu pada kayu di pusat lingkaran. Unta berjalan mengelilingi lingkaran, roda batu berat itu pun ikut menggelinding sepanjang linntasan lingkaran, melindas pasir dan air. Setelah puluhan putaran, adonan itu pun menjadi liat, berubah menjadi masala – adonan semen yang ternyata kuat merekatkan batu-batu dari gurun ini melintas zaman ratusan tahun.

Tradisi kuno telah melewati ratusan tahun di balik gerbang benteng kuno ini. Turisme, dengan segala plus minusnya, membuatnya terus bertahan dalam zamannya.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com