Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (102): Mimpi di Air Keruh

Kompas.com - 24/12/2008, 06:17 WIB

          “Mengapa harus malu dengan pekerjaan ini?” ungkap Vinoj, “Kami tidak mengemis, tidak mencuri. Kami malah membantu kota Mumbai membersihkan dirinya dari debu dan kotoran!”

Saya berjalan menyusuri barisan dhobi ghat, menyaksikan ratusan orang yang bernasib sama seperti Vinoj, memukul-mukulkan  pakaian tanpa henti ke anjungan batu. Sebenarnya orang asing tidak boleh masuk ke sini. Saya berhasil menyelinap.

Ghat demi ghat berbaris rapi. Ada dua lajur berhadap-hadapan. Air setinggi lutut membanjiri. Masing-masing ghat diisi oleh seorang tukang cuci. Ada yang mencuci baju putih, ada yang khusus baju berwarna. Air dengan berbagai warna menggenangi lantai ghat.. Melihat nasib pakaian yang harus dipukul, dibanting, dan dihantamkan ke batu beratus kali, jangan kaget kalau warna baju Anda berubah menjadi pudar kalau sering dicuci di sini.

Pekerjaan fisik menghantam-hantamkan baju kotor ke batu biasanya dilakukan oleh laki-laki. Kaum perempuan tidak ikut menceburkan diri di dalam ghat. Mereka punya tugas mengumpulkan pakaian yang sudah dicuci, mengeringkan, dan menyetrika. Anak-anak mengantarkan buntalan kain dari dan kembali kepada para pelanggan. Saya melihat bocah sebelasan tahun yang menyokong sebuntal besar baju kotor di kepalanya. Beratnya lebih dari 15 kilogram.

Ayah, ibu, anak, semua hidup dari anjungan, tumpukan baju kotor, dan genangan air sabun. Selain bekerja, banyak dari mereka yang juga tidur dan makan di sini. Di tepi barisan ghat ada sederet rumah kumuh dari seng, berukuran sangat sempit, tempat keluarga-keluarga miskin ini menghabiskan usia.

          “Mari makan bersama kami,” kata seorang dhobi menawarkan makan siangnya.

Nasi dan kuah lentil terhidang di atas piring gembreng. Nasinya menggunung dan kuahnya sedikit. Dengan makanan tak bergizi seperti ini, bagaimana mereka mampu melakukan pekerjaan berat sepanjang hari? Bocah-bocah dan ibu pun makan bersama, sementara air terus menciprat dari cucian dhobi lain yang masih sibuk mengejar target.

          “Mata kamu kuning ya?” tanya seorang tukang cuci yang mengantar saya berkeliling. “Jangan makan makanan berminyak. Kamu mesti beli air tebu. Itu bagus untuk penyakit jaundis!”

Tubuh saya lemas. Saya baru sadar kalau penyakit kuning sudah mulai menggerogoti tubuh saya. Di negara ini, penyakit ini penyakit biasa.

          “Jangan khawatir, pasti sembuh. Kamu perlu minum? Kalau mau, saya belikan.”

Saya terenyuh. Mahalakshmi adalah tempat pemujaan Dewi Lakshmi, perlambang kemakmuran. Ironis, mimpi akan kemakmuran tenggelam dalam genangan air sabun. Namun, orang-orang miskin dari kubangan ini punya hati yang teramat mulia. Saya teringat ucapan Vinoj, mengapa harus malu menjadi seorang dhobi?/*


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com