Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (103): Mimpi di Air Keruh (2)

Kompas.com - 25/12/2008, 06:26 WIB

Saya berada di sebuah perkampungan kumuh. Mumbai adalah sebuah kota penuh ekstrim. Gubuk-gubuk kumuh bertebaran di kota yang menjadi pusat industri dan denyut nadi perekonomian India. Negara Asia Selatan yang didengung-dengungkan sebagai calon raksasa ekonomi dunia dengan angka pertumbuhan yang melambung tinggi juga adalah rumah bagi ratusan juta kaum papa yang hidup dalam kemelaratan shanty town.

Hidup di perkampungan kumuh ibarat kubangan yang menghisap semua mimpi. Sebuah kubangan dengan air rawa yang mendekap rapat-rapat semua yang terjebak di dalamnya.

Lebih dari setengah juta orang hidup terhimpit dalam setiap kilometer persegi perkampungan kumuh. Di tempat sesempit ini, hanya ada dua atau tiga kamar mandi umum. Bagi laki-laki, urusan toilet bisa dilakukan di mana-mana, menjadikan kota besar di India berbau amat pesing. Bagi perempuan, urusannya lebih susah lagi. Menahan kencing sehari penuh menyebabkan penyakit.

Di sudut jalanan tersedia keran minum. Pada masing-masing keran tergantung gelas kaleng yang terikat rantai besi. Semua orang bisa minum dari sini, memakai gelas yang sama. Kuman dan bakteri mengalir dengan leluasa.

Lalat dan nyamuk berpesta pora di atas sampah yang menggunung. Anak-anak dengan perut buncit kurang gizi berlari-larian. Saya juga melihat banyak penduduk kampung ini yang bermata kuning, seperti saya, penderita hepatitis. Hepatitis A, yang ditularkan oleh makanan dan minuman tak bersih, sama sekali bukan penyakit berat di negara ini. “Ah, cuma jaundis,” kata dokter yang kemarin saya temui, “kamu istirahat saja, nanti juga sembuh sendiri.” Penderita hepatitis parah B dan C juga ada jutaan.

Penyakit merebak dari kemiskinan. Dan penyakit menyeret orang semakin dalam ke jurang kemiskinan. Demikian seterusnya. Orang miskin semakin sakit dan orang sakit semakin miskin.

Tetapi tidak semua orang menderita di sini. Seorang tukang gembreng loak bercerita bahwa tidak semua yang tinggal di perkampungan kumuh adalah orang miskin. Ada pula orang miskin yang berhasil. Misalnya dia sendiri dengan toko barang loaknya, yang penghasilannya bisa puluhan ribu Rupee per bulan.

Di antara kubangan ini masih ada pula sebongkah mimpi yang bersinar.

Saya kembali lagi ke barisan dhobi ghat.. Matahari sudah mulai berkurang teriknya. Anjungan-anjungan batu itu mulai sepi. Beberapa pemuda mandi dalam genangan air berwarna lunturan baju. Beberapa tumpuk pakaian dikeringkan, disetrika, dibungkus, untuk dikembalikan kepada para pelanggan.

Aneh sekali, di tempat yang nampak semrawut ini, di mana setengah juta helai pakaian bercampur aduk setiap hari, tanpa sistem manajemen atau database komputer, pakaian-pakaian itu bisa kembali ke masing-masing pemiliknya tanpa salah. Bagi saya, ini masih merupakan misteri.

Perkampungan kumuh ini adalah denyut nadi kota Mumbai, yang turut menyuapi dan membangun kemegahan ekonomi India. Di kejauhan nampak barisan gedung pencakar langit kota Mumbai, mengiring negeri ini sebagai superpower ekonomi masa depan, sementara lebih dari 50 persen penduduk metropolis ini hidup dalam slum yang mengenaskan.

Terbersit sebuah pertanyaan, berapa lama lagi orang-orang yang bergantung pada bongkahan mimpi ini bisa terentas dari kubangan raksasa perkampungan kumuh, meraih mimpi yang sebenarnya di gedung-gedung pencakar langit yang tampak di pelupuk mata sana?

Suara baju yang dicelup ke dalam air bersahut-sahutan dengan bunyi kain yang dipukulkan ke atas batu. Realita memang tak seindah mimpi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com