Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (116): Karakoram Highway

Kompas.com - 13/01/2009, 15:02 WIB

Saya bertanya-tanya ke beberapa lelaki yang duduk di pinggir jalan, berselempang selimut tebal. Tiba-tiba datang seorang kakek tua, berjenggot putih, bertopi pakkol yang beratap datar dan berwarna coklat.

          “Welcome back,” serunya, “Welcome back!”

Senyumnya ramah sekali, seperti menyambut seorang kawan lama. Rupanya Kakek Haider masih ingat saya, yang hanya mampir tiga malam di penginapan sederhananya. Saya terharu. Kakek tua di hadapan saya ini masih begitu gagah. Semangatnya masih menggebu.

           “Aku senang sekali kamu datang, senang sekali,” Haider-ji tersenyum riang.

Ia menggiring saya dan Al masuk ke ruang makan losmennya. Gelap gulita, hanya lampu petromaks yang menyala, itu pun khusus karena ada tamu. Selain kami berdua, tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Memang siapa yang mau datang ke Hunza di musim dingin begini? Membayangkannya sudah ngeri. Tubuh saya sudah menggigil sejak di dalam kendaraan dari kemarin malam. Turun di sini, di hadapan Gunung Rakaposhi, suhu udara lebih rendah lagi. Malam hari, teh pun bisa beku.

Tetapi Kakek Haider tidak mengeluh. Musim dingin usahanya memang sepi, namun ia selalu bersyukur menerima siapa pun yang datang. Ia segera menyuruh Hussain, sang juru masak, menyiapkan sup tomat untuk kami berdua.

Al pun tersenyum gembira di hadapan Kakek Haider. Seperti biasa, ia memperkenalkan dirinya terlebih dulu sebagai ‘Pakistani’ dan ‘Muslim’, sekarang dengan bangga pula ia menyebut dirinya ‘Ismaili’.. Di tanah Hunza ini, itulah ketiga identitas yang menjadi kebanggaan dirinya. Ia pun berulang kali memuji masakan Hussain, walaupun saya tak tahu pasti apakah pujian itu sekadar pemanis bibir.

Di bawah remang-remang petromaks, Kakek Haider menyodorkan tiga buah buku tebal kepada saya. Inilah barang berharganya—buku tamu. Semua tamu yang pernah tinggal di sini menulis pesan, kesan, tips perjalanan. Buku ini menjadi semacam jejak semua orang yang pernah singgah di pemondokan kecil Kakek Haider.

Dua tahun lalu, ketika saya datang ke sini di musim panas, kegemaran saya adalah membaca tulisan demi tulisan para petualang dunia yang sampai di sini, di halaman luar sambil bermandi matahari dan menikmati kegagahan gunung-gunung raksasa. Buku-buku ini membuat saya semakin bermimpi tentang petualangan, menyerapi sari pati perjalanan ratusan pendahulu saya. Ada kisah petualang Afghanistan yang mengundang decak kagum, ada kisah keberanian seorang pendaki K-2, atau pengalaman lucu menyeberangi jembatan gantung di dekat gletser.

Saya masih menemukan nama saya di daftar tamu, yang saya torehkan dua tahun silam. Ada kolom nama, alamat, nama ayah, tempat tanggal lahir, dan pekerjaan. Biasanya para backpacker mengisi kolom-kolom ini dengan tidak serius. Ada yang mengisi di kolom pekerjaan sebagai presiden, mata-mata, bahkan ese-gakusei (bahasa Jepang: pelajar gadungan). Memang kebanyakan petualang yang berkeliling dunia dalam hitungan bulanan hingga tahunan adalah mereka yang berani mengambil keputusan meninggalkan pekerjaan dan hidup terkatung-katung. Mau diisi apa kolom pekerjaan? Pengangguran? Ah, tidak elegan. Lebih baik mengarang pekerjaan lucu-lucu yang membuat ketawa backpacker yang datang berikutnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com