Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (121): Jejak Masa Lalu

Kompas.com - 20/01/2009, 09:18 WIB

          “Saya sedang menulis buku tentang Chapursan,” katanya, “saya butuh bantuanmu menterjemahkan naskah Budha ini.”

Barang yang terbungkus adalah selembar kertas sobek-sobek yang sudah menguning, umurnya ratusan atau mungkin bahkan sudah ribuan tahun. Saya tak berani menyentuhnya. Bahkan bernafas di dekatnya pun takut menghancurkan barang berharga itu. Di bagian atasnya tertulis huruf-huruf dan simbol aneh, melenggak-lenggok berbentuk seperti huruf Tibet, hanacaraka, atau Sanskerta. Mengharap saya menerjemahkan sandi-sandi ini sama muluknya dengan meminta saya menerjemahkan kakawin Majapahit.

Kertas itu adalah barang berharga keluarga Aziz, sudah diwariskan turun-temurun.

“Dulu tempat ini didiami orang Budha,” katanya, “tetapi sekarang semua sudah memeluk agama Islam. Tak ada lagi orang yang bisa membaca huruf Sanskerta, padahal saya butuh sekali informasi untuk buku saya.” Ia membungkus kembali kertas kuno itu perlahan-lahan.

Budhisme pernah merambah tempat-tempat terpencil di lekukan gunung tinggi ini. Biksu China Hsuantsang dari dinasti Tang, yang lebih tersohor sebagai guru dari Kera Sakti dalam Legenda Perjalanan ke Barat, sesungguhnya pernah melintasi tempat ini dan mencatat tentang kehidupan umat di sini. Sekarang, Budhisme adalah masa lalu yang terputus. Kejayaan peradaban yang kini menjadi misteri. Orang sekarang meraba-raba masa lalu mereka dari serpihan yang tersisa.

Ahli linguistik masih gemar mempelajari bahasa Baltit di daerah Baltistan, tak jauh dari Gilgit, yang konon berkerabat erat dengan bahasa Tibet. Di Skardu ada batu besar berukir gambar Budha sedang bertapa. Di Lembah Swat, juga pegunungan tinggi di utara Pakistan, ada gunung yang berukir patung Budha berukuran raksasa. Di kota Taxila, tak jauh dari Islamabad, pernah ada kota Budha yang modern di zamannya.

Bagaimana masa lalu itu kemudian terputus? Bagaimana penganut Budha tiba-tiba lenyap tak berbekas di negara ini? Bagaimana kehidupan Chapursan ketika dihuni oleh para biksu dan umat pemuja dharma? Semua itu adalah tanda tanya tak berjawab bagi Aziz. Keterbatasan ahli bahasa Sanskerta di Pakistan membuat banyak pertanyaan terpendam dalam selubung misteri.

Aziz menciumi kaum perempuan di rumahnya. Malam ini ia tak tidur di sini. Jip masih akan melanjutkan perjalanan jauh ke pedalaman Chapursan. Kami segera naik lagi ke dalam kendaraan. Di luar gelap gulita, hanya ada hitam yang kelam. Tak ada listrik.

Jip bergoncang-goncang menyusuri jalan berbatu. Lampu mobil menjadi satu-satunya penerang dunia di sini. Aziz dan Noorkhan, kedua teman dekat ini, katanya akan turun bersama di suatu desa yang namanya tak pernah saya dengar.

          “Kamu turun di mana?” tanya Aziz pada saya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com