Ruangan rumah mehman khana ini berukuran lebih luas daripada rumah yang tadi. Lantainya dari kayu. Nampaknya ini adalah rumah keluarga Majid di musim panas, luas dan berangin. Di musim dingin mereka pindah ke rumah kecil tadi, hangat di sekeliling tungku.
Yang tidur di sini hanya saya, Majid, dan seorang pamannya yang bertama Amir. Begitu saya berjumpa dengannya, saya langsung akrab dengan pria berkumis yang suka becanda ini. Ia sedang mencukur jenggotnya, katanya besok pagi ia akan berburu orang asing dengan bedil. Kemudian ia bercerita tentang seorang gadis Karimabad yang dioperasi menjadi laki-laki. Saya berulang kali tergelak mendengar kisah-kisah anehnya yang selalu diucapkan dengan mimik wajah yang meragukan.
Di dalam rumah orang Tajik tidak ada toilet. Letaknya selalu di luar, hanya lubang di atas tanah di halaman belakang. Kalau malam gelap di musim dingin begini, sebenarnya semua tempat bisa dijadikan toilet.
Sudah pukul dua tengah malam. Badan saya terasa remuk setelah perjalanan panjang ke Lembah Chapursan, bertamu di rumah keluarga Tajik, dan kini mendengar cerita Amir yang tiada habisnya. Majid menyiapkan matras tebal, lengkap dengan dua selimut bulu yang juga tebal dan berat. Tubuh saya terjepit seperti sandwich di antara lipatan selimut.
Lampu petromaks dimatikan. Gelap pun menyelimuti ruangan ini.
“Kal milenge. Jumpa lagi besok,” salam saya menutup malam.
“Insya Allah....,” Majid menyahut.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!