Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (122): Senandung Dalam Gelap

Kompas.com - 21/01/2009, 09:19 WIB

          "Iya. Tentu saja. Bahaya sekali," Majid tertawa. Pundaknya terguncang-guncang lagi. Sungguh selera humornya tak biasa.

Aziz dan Noorkhan undur diri. Mereka punya rumah masing-masing di desa ini. Malam ini saya menjadi tamu Majid. Ibu Majid adalah adik kandung Aziz. Sekarang perempuan bertopi bundar merah menyala di bawah kerudung hijau sibuk menyiapkan makan malam. Menunya adalah irisan kentang dan daging kambing. Baunya harum sekali. Mereka memasak di ruangan yang sama dengan tempat tidur. Tetapi justru di bagian ruangan inilah musim dingin terasa begitu hangat.

Tangan ibu Majid sangat cekatan melindas tepung, kemudian mencelupkan ke dalam minyak di wajan, digoreng dengan api kecil. Ini adalah chelpek, roti goreng orang Tajik. Dimakan bersama teh susu dudhpati yang asin. Sebelum mulai bersantap, dua adik Majid melayani orang-orang dewasa di rumah itu.

Yang satu membawa pot berisi air hangat, satunya baskom dan serbet. Air mengucur dari leher pot, membasahi kedua tangan saya yang membasuh. Air langsung mengalir ke baskom yang ditadahkan ke bawah. Kemudian giliran ayah Majid, disusul Majid dan kawannya. Di sini urutan juga penting. Mehman selalu yang pertama.

Ayah Majid menyalakan lampu petromaks, sedikit menambah seberkas cahaya dalam kepekatan malam. Api unggun di tengah kamar terus berkobar.

Dalam remang-remang cahaya di rumah kuno ini, denting dawai rebab kawan Majid memecah kesunyian. Suaranya melenting, mengalun lembut, membawa nuansa pegunungan dan padang rumput ke dalam kamar gelap ini. Majid memainkan seruling. Semua diam, takzim mendengarkan sang pelantun yang wajahnya berkedip-kedip dalam keremangan api di tungku.

          “Lailai lailailailai lailai lailailailaiiiii....,” ia mengawali lagunya, dilanjutkan sebaris syair dalam bahasa Wakhi Tajik, bahasa yang dipakai di lembah Chapursan dan berkerabat dengan bahasa Persia di Iran.

Gunung-gunung tinggi yang menjulang mengurung manusia-manusia dalam keterisolasian menjadikan lembah Hunza dan Gojal kaya keragaman kultural. Dari orang gunung bawah yang bicara bahasa Shinia, sampai orang Hunza yang berbahasa Burusashki yang menghentak, hingga orang Tajik di tanah tinggi Chapursan yang berujar bahasa Persian dan menghirup teh susu bercampur garam.

Saya tak tidur di rumah ini. Majid mengajak saya ke rumah pamannya, karena di situlah mereka punya mehman khana – rumah khusus bagi tamu. Jaraknya sekitar seratus meter, tetapi susah sekali. Saya tak pernah melihat kegelapan yang demikian total. Sejauh mata memandang, hanya hitam. Bintang tak banyak, tertutup mendung. Menyalakan lampu senter pun sampai tak berguna, ditelan gulita. Angin menderu-deru, lolongan anjing (atau mungkin juga serigala?) bersahut-sahutan, mewarnai malam.

Berkali-kali saya tersandung semak belukar. Sungguh tak mudah mencapai rumah ini, yang masih dalam radius kategori ‘tetangga sebelah’.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com