Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (128): Sharbat dan Tamasha

Kompas.com - 29/01/2009, 09:48 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Semarak tari-tarian di malam yang gelap, memecah kesunyian pegunungan bisu Karakoram, mengawali hidup baru sepasang pengantin di Karimabad.

Karim adalah seorang kawan Hussain si juru masak. Rumah Karim hari ini sibuk sekali, karena keluarga besar itu sedang menyiapkan acara pernikahan.

          “Makanlah ini,” Karim menyuguhi saya semangkuk makanan yang nampak seperti bubur.

Namanya sharbat, makanan wajib pesta pernikahan di Hunza. Sharbat selalu dimasak oleh laki-laki, terbuat dari mentega yang direbus dengan air dalam wajan besar dengan api kecil, dicampur tepung kasar sampai mengental. Hangat, lembek, sedikit hambar.

Di tengah kesibukannya membersihkan rumah, Karim bercerita bahwa kakaknya, Amin Khan, akan menikah besok lusa.. Pernikahan di Hunza selalu jatuh hari Sabtu. Tetapi sehari sebelumnya, hari Jumat, baik di keluarga pengantin pria dan wanita pesta sudah dimulai. Masing-masing keluarga mengundang tetangga, kerabat, dan kawan-kawan untuk makan siang. Menunya adalah sharbat, makanan kental yang barusan saya santap.

          “Acara besok dan besok lusa pasti meriah,” kata Karim, “Besok adalah acara tamasha, acara pesta dengan tari-tarian. Hari Sabtu lusa adalah puncak dari semua perayaan ini - nikah. Nikah akan dilaksanakan di jemaatkhana di dekat rumah pengantin perempuan. Nanti kami akan berombongan berangkat ke sana.”

Untuk urusan jumlah tamu dan rombongan di Hunza ada aturan ketat. Sebelum acara pernikahan, pihak keluarga kedua mempelai merundingkan kapan dan bagaimana nikah akan dilaksanakan. Sudah diputuskan, dari keluarga pengantin pria akan datang 40 orang anggota rombongan. Nanti, dari pihak keluarga pengantin wanita juga akan datang rombongan dengan jumlah yang sama persis.

Empat puluh, di Pakistan di mana satu keluarga bisa punya anak sampai belasan, sama sekali bukanlah angka yang besar. Ada ayah, kakak adik, saudara-saudara, dua orang kakek, belum lagi belasan paman dan saudara ipar. Sebentar saja daftar empat puluh orang ini langsung penuh. Siapa-siapa yang hendak berangkat sudah dipilih dengan hati-hati. Daftarnya sudah tetap.

Sebenarnya saya sangat ingin ikut melihat bagaimana penjemputan pengantin perempuan. Tetapi karena Karim bilang tentang kuota 40 orang yang sangat terbatas itu, saya bahkan tak berani menyampaikan isi hati saya.

Sore itu saya bersama Karim dan seorang sepupunya pergi ke lereng gunung. Mereka menebang pohon, untuk kayu bakar. Jangan dikira pohon-pohon di lereng pegunungan kelabu ini tumbuh liar. Setiap petak tanah ada pemiliknya. Ini adalah kebun kecil milik keluarga Karim. Tanahnya terjal sekali. Saya sampai tak berani turun karena takut terpeleset ke bawah sana. Tetapi sepupu Karim malah dengan kuat mengayunkan kapaknya. Belasan kali tebas, pohon itu tumbang juga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com