Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (130): Air Mata Pengantin

Kompas.com - 02/02/2009, 13:27 WIB

Di belakangnya, barisan perempuan keluarganya mengiring, diam dalam keheningan. Yang terdengar hanya lolongan kesedihan, tangisan meluap-luap, membawa suasana perkabungan ke dalam pernikahan. Tangis dan air mata pengantin di Pakistan adalah hal biasa karena si gadis berpisah dengan keluarganya, rumah hangat yang ditinggalinya sejak masa kanak-kanak. Kini ia harus berangkat ke rumah baru, rumah keluarga yang sama sekali asing baginya, berangkat dengan lelaki tak dikenal yang menjadi pendamping seumur hidupnya.

Pernikahan di Pakistan umumnya hasil perjodohan - hasil bisik-bisik dan negosiasi pasangan orang tua. Terkadang kedua mempelai hanya melihat foto pasangannya dan baru berjumpa di malam pengantin. Sejak masa pertunangan hingga hari pernikahan, kedua pasangan dilarang bertemu. Tidak ada istilahnya pembinaan hubungan, penjajakan pasangan, penyemaian cinta di hati dengan pacaran. Cinta baru dimulai nanti setelah pernikahan. Cinta akan muncul sendirinya, dari kebiasaan.

Pengantin wanita masih meraung saat masuk mobil menuju Karimabad, ke rumah suaminya. Pengantin pria tidak duduk di dalam mobil yang sama. Laki-laki tidak boleh dicampur dengan perempuan, bahkan pengantin baru sekalipun.

Bersama sang putri, ada pula truk mengangkut almari, karpet, kasur, ranjang, televisi, dan barang-barang lain. Ini maskawin dari pihak wanita agar tidak diremehkan keluarga suami.

Desa Karimabad, yang didominasi warna kelabunya rumah-rumah dan pagar batu, kini berubah menjadi penuh warna. Seperti ketika melepas keberangkatan barat, para tetangga dan wanita dusun sampai naik-naik ke atap rumah dan pagar untuk mengintip siapakah pengantin cantik yang diboyong pulang sang pengantin.

Bunyi terompet dan tetabuhan memimpin barisan panjang pengantin dan para pengiring. Barisan ini teramat panjang, karena selain barisan barat yang 50 orang, dari dusun Hassanabad juga datang rombongan pengiring pengantin perempuan. Walaupun seharusnya jumlahnya sama dengan rombongan yang datang bersama pengantin pria, tetapi ternyata membludak jadi 80 orang. Kalau barat yang datang bersama kami isinya hanya kerabat pria, rombongan pengiring dari Hassanabad ada laki-laki dan perempuan.

Sekarang giliran keluarga pengantin pria yang menjamu rombongan ini. Adat perkawinan Hunza serba simetris. Bukan hanya jumlah tamu dari kedua keluarga seharusnya sama persis. Makanan yang disajikan di rumah pengantin pria pun harus sama dengan apa yang disajikan keluarga pengantin wanita ketika menyambut barat. Karena itu sebelum hari pernikahan banyak acara runding-rundingan kedua pihak keluarga.

Air mata mempelai wanita berganti jadi senyum saat rombongan tiba di rumah pengantin pria. Suara petasan yang dilempar bocah-bocah Karimabad meletus di tengah halaman rumah. Tamu dari seluruh penjuru desa berdatangan, ikut berpesta. Para pria menari bak burung elang. Tetabuhan bertalu-talu memeriahkan acara tamasha (resepsi). Bulan memunculkan wajahnya di atas langit malam yang membiru.

Hari ini saya larut dalam bahagia.

 

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com