Ribuan umat terbawa emosinya. Suara sesenggukan sambung menyambung, bak gelombang. Kakek-kakek menggeleng-gelengkan kepalanya, menghayati kisah yang dibawakan, sambil menggumam, “hai hai... hai hai...”, kemudian menyapu wajahnya yang sembab dengan sapu tangan.
Sang pembicara di mimbar tak hanya berkisah. Ia juga melantunkan syair, dibacakan naik turun berirama seperti mantra. Suaranya bergetar. Air matanya menetes. Tangisannya seketika diikuti oleh tangisan ribuan umat yang hadir. Mereka menangis berjamaah.
“Maatam karo! Maatam karo!” Sang ulama meminta umat untuk melakukan maatam, memukuli dada sebagai lambang turut berduka cita. Dua orang pengiring imam melantunkan doa-doa Al Quran. Suara mereka sangat bening, tetapi iramanya sendu, penuh kesedihan. Beberapa orang mulai histeris. Ada yang bangkit berdiri, memukul dadanya kuat-kuat. Ada yang menangis keras sampai berteriak-teriak. Ada yang kakinya menyepak-nyepak sambil menangis. Orang-orang ini terbungkus histeria.
Suasana sedikit mereda, sang ulama mulai mengisahkan tentang tauladan Hussain, tentang Yazid yang laknat, tentang kelicikan pasukan Yazid, tentang jalan mati syahid untuk menegakkan jalan Allah. Begitu nama Yazid disebut, orang-orang histeris, berteriak serempak “Yazid murdabad! Yazid murdabad! Hussain zindabad! Hussain zindabad! Matilah Yazid! Hiduplah Hussain!”
Sebuah suara meledak dari tengah umat, penuh semangat, “NARAI TAKBIR!!!”, disusul gemuruh “Allahuakbar!!!” lautan umat berteriak serempak. “NARAI RISALAH!!!” disambut dengan seruan “Ya Rasulullah!!!” Seruan narai ini ditutup dengan “NARAI HAIDRI!!!” yang dijawab dengan “Ya .... Ali!!!” Kata ‘ya’ diucapkan panjang, diakhiri dengan ‘Ali’ yang dibunyikan dengan dentuman sekali hembusan nafas.
Ulama melanjutkan kembali ceramahnya. Demikian berulang kali, emosi para pendengar perlahan-lahan dinaikkan menuju klimaks, diiringi sesenggukan tangis dan maatam, slogan-slogan bagi Imam Hussain, teriakan narai, dan ketika emosi reda sang ulama berceramah lagi. Ini kisah yang sama, diulang-ulang setiap tahun, didengar setiap Ashura, tetapi orang masih tetap larut dalam histeria kesedihan.
Tangisan meletus berkali-kali. Sungguh pemandangan luar biasa melihat ribuan orang menangis bersama-sama. Beberapa dari mereka memukuli kepala sendiri keras-keras, sebagai lambang duka cita yang mendalam.
Sudah enam jam lebih mereka duduk di sini. Beberapa pria melepas bajunya. Saya melihat banyak punggung yang tersayat. Ceramah majlis semakin mengaduk-aduk emosi. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang sendu membawa kesedihan bagi siapa pun yang mendengarnya. Sorak-sorai “Hussain Zindabad!” bertalu-talu. Beberapa pria berjubah membawa rantai pisau, berkeliling di sela ribuan umat pria yang duduk sambil menangis.
Sesaat berikutnya, darah terciprat di mana-mana.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!