Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (142): Sebuah Desa di Lereng Gunung

Kompas.com - 18/02/2009, 07:52 WIB

          “Besok, kita ke lapangan. Kamu sudah siap?” tanya Rashid. Bukan siap lagi. Saya sudah tidak sabar segera ‘terjun’ ke sana.

Sepanjang perjalanan dari Muzaffarabad ke Noraseri, saya malah langsung lemas. Di kanan kiri jalan yang nampak adalah reruntuhan. Hancur lebur di mana-mana. Kehidupan terenggut, dan ratusan ribu manusia seketika lenyap ditelan bumi. Kehancurannya mirip sekali dengan Banda Aceh selepas tsunami. Bedanya di sini batu dan barisan gunung menggantikan potongan kayu dan debur ombak.

          “Itu dulunya desa,” kata Rashid menunjuk sebuah lembah di kanan jalan yang kami lintasi. Yang terlihat hanyalah tumpukan batu-batu putih, bekas rumah. Luas menghampar, tersebar tak beraturan. Di belakangnya, wajah gunung sudah terpangkas, memperlihatkan batu padas curam. Gunung sebesar ini ambrol, mengubur hidup-hidup puluhan desa yang bertengger di tebing dan kakinya. “Hampir semua penduduk desa-desa di sini mati,” kata Rashid.

Saya juga tak melihat tanda-tanda kehidupan lagi. Barisan tiang listrik yang sudah miring tidak karuan menjadi saksi bencana dahsyat ini. Hujan mulai turun rintik-rintik.

          “Selain gempa, nanti kamu akan membiasakan diri dengan hujan dan tanah longsor,” pesan Rashid. Saya mengangguk lemah, masih nanar oleh kehancuran luar biasa di sana sini.

Jalanan menuju Noraseri berkelak-kelok menyusuri punggung-punggung gunung. Terkadang sangat sempit. Walaupun tidak securam dan seseram jalan raya di Hunza sana, tetapi gunung-gunung yang menghias wajah Kashmir selepas gempa dalam keadaan yang sangat tidak stabil. Sedikit goncangan saja, maka batu besar atau sejumput bumi bisa terjun bebas dari atas sana.

Ini akan menjadi keseharian saya. Saya masih mencoba meyakinkan diri.

Mobil berhenti. Sekarang kami pelan-pelan memanjat tebing ini untuk mencapai desa Noraseri di atas sana. Tidak ada mobil yang bisa ke sana. Kami harus jalan kaki, mengangkut beberapa bahan bangunan dan makanan untuk para sukarelawan. Saya yang masih belum terbiasa dengan jalan gunung, harus digandeng erat-erat oleh seorang sukarelawan. “Aduh, saya ke sini mau membantu, malah menambah repot,” batin saya.

Setelah perjuangan berat, akhirnya sampai juga kami ke Noraseri. Puncak bersalju Nanga Parbat, gunung tertinggi kesembilan di dunia, tampak samar-samar di kejauhan dibungkus awan. Suasana misterius menyelimuti perkemahan ini.

Ada tujuh tenda. Saya mendapat tempat tidur di tenda nomor 5, bersama dua orang sukarelawan lainnya. Dalam sekejap, saya diperkenalkan dengan belasan orang, yang susah sekali mengingat namanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com