“Dulu ada 85 murid laki-laki di sini,” kata kepala sekolah, “Waktu gempa, murid-murid sudah masuk kelas. Sesudah bencana itu, mereka tersebar ke mana-mana. Ada yang meninggal, ada yang mengungsi. Sekarang tinggal 30 bocah saja.”
Di Pakistan, murid laki-laki dan perempuan tidak belajar di sekolah yang sama. Di bawah terik matahari, bocah-bocah ini belajar. Beberapa murid kelas rendah belajar di lapangan. Mereka duduk di tanah, mengerjakan hitungan matematika.
“Tak ada meja,” kata gurunya, “banyak murid yang sekarang malah merasa nyaman duduk di tanah.”
Murid kelas atas belajar di tenda. Berdesak-desakan. Satu bangku sempit, yang sejatinya untuk dua orang, kini dipakai empat sampai lima siswa. Dalam keadaan susah pun, mereka tetap belajar.
Syed Gillani, seorang guru, tampak berkaca-kaca mengenang kembali Kashmir yang indah. Saya bersamanya memandang lembah yang menghampar, hijau dan damai. “Chaval – nasi – dari Kashmir sudah tersohor kelezatannya. Kami tinggal di bumi yang subur. Tetapi beberapa tahun lalu, kekeringan melanda. Banyak penduduk yang pindah ke Karachi atau Lahore untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dan sekarang, bencana lain datang lagi. Semuanya hancur lebur.”
Kami berdiri di atas tumpukan batu-batu yang bertebaran, menyaksikan bocah-bocah yang asyik bermain kriket waktu jam istirahat. Di kejauhan terdengar deru helikopter pembawa bantuan pangan, menjangkau desa-desa terpencil dan terisolasi di lereng gunung. Manusia begitu kecil di sini, merayap pada ratusan desa yang tersebar di setiap lekukan gunung besar. Bocah yang berlarian mengejar bola bagaikan lalat-lalat mungil dibandingkan gunung-gunung hijau yang mengelilingi. Suatu ketika, gunung-gunung tinggi itu berguncang, mengalir bak air bah, melumatkan manusia yang merayap di atasnya. Sekolah ambruk, murid-murid menghilang. Yang tersisa hanya tumpukan batu, mengubur semua mimpi dan kejayaan masa lalu.
Bendera Kashmir berkibar-kibar diterpa deru angin. Tak ada bendera Pakistan. Dalam bahasa Urdu, nama daerah ini adalah Azad Jammu & Kashmir, Jammu dan Kashmir Merdeka. Kashmir di sisi Pakistan selain punya bendera sendiri juga punya presiden, perdana menteri, dan pemerintahan terpisah. India menyebut daerah ini sebagai Pakistan Occupied Kashmir (POK). Pakistan juga menyebut Kashmir di wilayah India sebagai ‘Kashmir Terjajah’. Merdeka atau terjajah, semuanya relatif, tergantung kepentingan politik mana yang memandangnya.
“India sangat zolim,” kata seorang guru yang mengaku mengungsi dari Kashmir di sisi India bersama keluarganya tahun 1999, “Tetapi bagaimana pun, rumah kami ada di sana. Tentu saya ingin kembali ke sana. Ini bukan berarti Pakistan tidak baik. Bagaimana pun juga, semua orang rindu rumahnya, bukan?” Masih banyak orang Kashmir India yang mengungsi ke Pakistan, ada ribuan di dusun Kharkar, dan semakin banyak lagi selepas bencana gempa.
Kesedihan tergambar jelas di wajah guru berjubah shalwar qamiz ini. Sebagian besar kerabatnya masih tinggal di India. Sekarang pria ini hidup sebagai manusia tanpa kewarganegaraan, tak punya negara tempat ia boleh melabuhkan jiwa kebangsaannya. Hanya ada Kashmir, itu pun terbelah dua.
Bendera Azad Kashmir berkibar-kibar di atas tumpukan batu. Bocah-bocah yang sudah berkeringat bermain kriket, kini kembali duduk di lapangan, menekuni buku pelajaran. Angin terus menderu di lereng barisan gunung hijau.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!