Terlepas dari segala kesusahan yang dialami para pengungsi ini, saya tidak melihat air mata, kecuali tangisan bayi yang kadang meraung ketika gempa kecil mengguncang. Yang saya rasakan hanya pengharapan dan keyakinan untuk bangkit dari kubangan kehancuran ini. “Kami pasti bisa pulih,” kata Jalal-ud-din, pengungsi berusia 36 tahun yang putrinya menderita cacat jasmani, “kami bahkan akan pulih lebih cepat daripada Aceh di Indonesia!”
Bocah-bocah kecil bermain riang di antara barisan tenda. Lapangan yang lebarnya tak sampai tiga meter pun bisa menjadi tempat bermain kriket atau voli. Seorang bocah bahkan dengan percaya diri keluar dari tenda untuk memotret saya dengan sebuah kamera mainan dari plastik.
Terlepas dari bencana dan penderitaan, para pengungsi Kashmir ini tidak melepaskan tradisi keramahtamahan yang sudah melegenda. Hampir semua tenda mengundang saya untuk minum teh. Bahkan seorang pengungsi bersikukuh untuk menyediakan makan siang bersama saya. “Kami sudah terlanjur memasak, makanlah,” katanya, “karena engkau adalah tamu istimewa.”
Saya terharu. Kacang lentil yang sederhana dari tenda kumuh di kamp pengungsi rasanya menjadi sama istimewanya dengan kemuliaan hati pemiliknya.
“Hidup harus terus berjalan,” katanya, menyinarkan kemauan kuat untuk bangkit dari puing-puing ini.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!