Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (156): Mandi Darah

Kompas.com - 11/03/2009, 07:51 WIB

Plak...plak...plak.... bunyi daging di dada yang dipukul keras-keras, membahana. Yang tidak ikut dalam parade, penonton sepanjang jalan, ikut hanyut dalam nuansa ini. Mereka, termasuk saya, ikut memukul dada dengan satu tangan.

          “Hussain mullah! Hussain mullah! Ya Imam Hussain! Ya Imam Hussain!” jeritan anak-anak terdengar nyaring. Mereka sudah berada jauh di depan, di dekat perempatan Madina Chowk. Bocah-bocah belasan tahun ini bertelanjang dada, berdiri di tengah-tengah lingkaran. Masing-masing tangannya memegang rantai.

Zanjirzani! Sebuah nama yang selalu membangkitkan kenangan akan luberan darah. Dalam bahasa Persia, kata ini berarti mencambukkan rantai. Bukan rantai sebarang rantai. Lihat di ujungnya, ada beberapa bilah pisau kecil.

Plak...plak... plak... ditambah gemerincing logam. Daging punggung tersayat pisau tajam. Darah pun menciprat dari punggung-punggung mulus puluhan bocah kecil itu. “Imam Hussain! Imam Hussain!” mereka berteriak-teriak, sambil tanpa henti menyambitkan rantai pisau ke punggung mereka, berirama.

Yang sudah sangat parah lukanya langsung disergap para penonton, supaya tidak terhanyut dalam histeria. Dalam acara seperti ini, orang mudah lupa diri, terus menyambit punggungnya dengan pisau bahkan sampai tewas. Penonton bertugas mengawasi agar pelaku zanjirzani tak sampai melewati batas.

Bergabung dalam rombongan anak-anak yang menikmati zanjirzani, juga ada beberapa lelaki dewasa yang cacat karena gempa. Semangatnya dalam memukulkan rantai pisau sangat dahsyat. Dalam hitungan menit, kulit punggungnya sudah tak terlihat lagi, terbasuh merah darah.

Iring-iringan berjalan pelan-pelan. Lelaki dewasa masih berbaris melaksanakan maatam. Sudah banyak orang yang dadanya tercabik-cabik. Darah di mana-mana. Di bagian depan, sudah seratusan anak-anak yang punggungnya tersayat-sayat. Darah juga di mana-mana.

Parade ini berjalan lambat sampai ke perempatan Madina, kemudian berbalik arah lagi menuju masjid. Sudah hampir dua jam, mereka terus memukuli dada dan menyambitkan pisau ke punggung.

Menjelang senja, rombongan sampai kembali di pelataran masjid. Bocah-bocah dan lelaki dewasa berebutan pisau, kemudian mengambil tempat di tengah lingkaran. Acara zanjirzani dilanjutkan. Kini orang semakin histeris. Bukan hanya memukuli punggung, bahkan ada yang memukulkan pisau ke kepala.

Darah terus mengalir, sampai akhirnya gelap membungkus langit Muzaffarabad. Empat puluh hari masa berkabungan Imam Hussain berakhir sudah. Tetapi, Imam Hussain hanya satu dari sebelas imam yang hari kematiannya harus diperingati. Masih ada sepuluh Imam lain. Minggu depan, masa perkabungan untuk Imam Hassan, sudah akan dimulai.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com