Gempa di Kashmir memang mengerikan. Rumah-rumah di sini terbuat dari batu gunung yang berat. Yang tertimpa dinding batu rumah yang ambrol hampir pasti meninggal atau cacat. Sekarang yang tersisa dari rumah besar keluarga Pak Haji adalah pondasi batu di tanah lapang, sebuah kenang-kenangan dari kejayaan masa lalu yang telah hancur lebur diguncang bumi.
“Tak pernah kami membayangkan hidup seperti ini,” kata Hafizah, “hidup dari uluran tangan orang lain. Pak Haji selalu mengajarkan kami untuk membantu orang, tetapi sekarang kami menjadi orang yang membutuhkan bantuan.” Keluarga ini menerima bahan bangunan rumah dari organisasi. Bari Amma bahkan pernah minta tolong saya mencarikan seng tambahan untuk menutup dapur mereka. Dari keluarga yang senang menjamu kawan dan tetangga, kini keluarga Pak Haji harus hidup dari sumbangan beras, minyak, dan bahan pangan.
Menerima sumbangan, bagi keluarga ini, sebenarnya hal yang memalukan. “Tetapi kami tak punya pilihan lain,” kata Hafizah. Saya juga mengamati dari kehidupan penduduk Noraseri, yang terlepas penderitaan sebagai korban gempa, sebenarnya terlalu tinggi martabatnya untuk memohon belas kasihan. Di desa ini, memakai baju sumbangan pun bisa menjadi bahan olok-olok.
Terlepas dari kesusahan, keluarga mendiang Pak Haji menyelenggarakan pengajian rutin setiap Kamis. Ada ustadz yang datang, juga anak-anak tetangga – semuanya perempuan - yang ributnya bukan main. Habis mengaji mereka melantunkan naat, alunan melodi puisi Islami tentang kebesaran Allah dan Rasulullah.
Hafizah dan kakak-kakaknya sibuk menyiapkan kari sapi dan nasi biryani untuk santapan bocah-bocah ini. Dalam sekejap lantai rumah menjadi jorok oleh ceceran nasi. Bocah-bocah langsung berhamburan pulang sehabis makan.
“Ganda log! Orang-orang jorok!” umpat Samera, kakak Hafizah, memunguti butiran nasi dari lantai kamar. Adik-adiknya tertawa, membantu Samera membersihkan ruangan itu. Mereka sebenarnya senang sekali dengan acara pengajian ini, walaupun harus selalu repot memasak dan membersihkan rumah setelahnya. Ajaran almarhum Pak Haji masih langgeng di keluarga ini.
Saya masih mengagumi kemurahan hati yang tak pernah mengering dari balik reruntuhan puing-puing rumah batu ini.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!