Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (160): Akhir Sebuah Perkabungan

Kompas.com - 17/03/2009, 08:02 WIB

           “Lihat ini,” Samera membawa seorang bayi lain sambil menyampaikan pengumuman maha penting, “ini, calon istri bayiku!” Bayi ini adalah punya kakak perempuan Samira, sama lucunya dengan bayi Samira. Perempuan lain di kamar ini tergelak, memuji Samira untuk perjodohannya yang luar biasa tepat.

Pria berjenggot itu tak buyar konsentrasinya. Lantunan barisan naat yang lambat namun mengetuk hati terus mengalir.

Naat ditutup doa panjang untuk Pak Haji. Saya pun berdoa dengan khusyuk. Saya sudah benar-benar merasa bagian dari keluarga besar ini.

Malamnya saya bermimpi tentang ayah. Segala curahan cinta kasih dan perhatian putri-putri Pak Haji membuat saya begitu merindukan kehangatan keluarga. Sudah lama sekali saya meninggalkan orang tua saya di seberang lautan. Apalagi keluarga kami bukan keluarga besar. Saya tak pernah merasakan kegembiraan ketika lusinan kerabat berkumpul bersama dalam rumah, saling bertukar kabar dan berbagi cerita. Sistem kemasyarakatan kita sudah banyak berubah. Ukuran keluarga kita semakin menyusut. Hubungan antar kerabat semakin menjauh. Dan manusia hidup dalam petak-petak yang semakin sempit.

Seketika, saya seakan menemukan kedamaian dalam keramaian keluarga Haji Sahab ini, sebuah kedamaian famili besar yang seakan menjadi lubang dalam masa lalu saya. Mimpi tentang ayah membuat saya semakin rindu bercampur haru.

          “Jangan sedih,” kata Hafizah, “kamu sudah punya keluarga di Pakistan. Kami adalah saudara-saudaramu di tanah Kashmir ini.”
Saya semakin terharu.

Pukul empat subuh, orang-orang sudah mulai sibuk. Pertama-tama mereka mendirikan namaz, salat, dilanjutkan dengan lantunan pembacaan ayat-ayat suci untuk almarhum, hingga matahari benar-benar menerangi setiap sudut perbukitan ini.

Kaum wanita sibuk membuat roti chapati dan membersihkan rumah, karena pagi ini para tamu dari seluruh penjuru desa akan berdatangan untuk acara chehlum. Dupa, yang di sini berfungsi sebagai pengharum ruangan, dipasang di tiap sudut kamar. Ada yang pergi mencari air dengan mengusung kendi, ada yang menyiapkan kursi dan terpal. Para pria sibuk membantu koki menyembelih ayam, memasak nasi biryani dan kari di panci berukuran raksasa. Bu Haji nampak kelabakan menerima tamu yang terus berdatangan. Suasana semakin kacau dengan lusinan bocah yang berlari ke sana ke mari dan tangis bayi-bayi yang meraung.

Acara membaca Quran dimulai. Bu Haji alias Bari Amma terpaksa ‘mengamankan’ saya karena kamera yang saya bawa selalu membuat gadis-gadis sibuk berpose dan bukannya khidmat mengaji.

Warga desa berdatangan. Para pria mengambil tempat sepanjang terpal panjang berlogo UNHCR, digelar di lapangan terbuka. Kaum perempuan cuma ada anggota keluarga Pak Haji saja. Mereka menengadahkan tangan, memanjatkan doa panjang dipimpin seorang imam. Bari Amma tampak sangat khusyuk dalam doanya. Mulutnya komat-kamit. Air matanya menitik penuh keharuan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com