“Kandari-Kandari kecil ini,” komentar Farman, “sudah jago berkelahi sejak usia balita.” Di mata saya, mereka adalah bocah-bocah lucu yang sedikit terlalu hiperaktif.
Sekarang giliran Nawab Khan, kakek tua dari desa ini, yang bercerita tentang gelora perjuangan penuh semangat kepahlawanan, ketika orang-orang Kandar berhasil membajak helikopter.
“Semua salah tentara Pakistan,” katanya menggebu-gebu, “mereka tidak mengijinkan helikopter pembawa bala bantuan untuk mendarat di sini. Suatu hari, sebuah helikopter NGO datang. Orang-orang desa yang sudah marah karena kelaparan berbondong-bondong untuk menyergap helikopter itu, tidak sabar lagi barang sedetik pun untuk menerima barang-barang bantuan.”
Sekitar 35 orang lelaki dari desa para petarung ini penuh semangat menyerbu helikopter, yang bahkan belum mendarat. Betapa dahsyatnya pemandangan itu, ketika para penduduk yang seperti kesurupan bisa memanjat helikopter yang masih terbang, bahkan sampai menawan pilotnya.
“Setelah kejadian itu, tidak ada helikopter lain yang datang ke sini,” keluh Nawab Khan, seolah tidak menyadari apa penyebabnya, “sekarang, kamu bayangkan, masa kami harus berjalan jauh naik turun gunung sampai ke Harama, hanya untuk mengambil barang-barang yang sudah menjadi hak kami?”
Saya teringat cerita Rashid, kawan sukarelawan dari Danish Muslim Aid, orang-orang Kandar ini pun membawa tongkat masing-masing menuju Harama. Di sana tongkat-tongkat beradu, seperti perang pedang, ketika para penduduk desa terpencil ini saling berkelahi memperebutkan barang-barang yang dikirim dari langit.
Bahkan mereka pun adu jotos hanya demi sepotong daging. Tak usah heran kalau mereka punya segudang kisah antik tentang riwayat perkelahian yang bergelora di puncak-puncak gunung yang tersembunyi.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!