Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (171): Tamu yang Kelaparan

Kompas.com - 01/04/2009, 07:31 WIB

Apa sebabnya? Pernikahan bukan melulu hingar bingar penuh kebahagiaan. Banyak kisah sedih tersembunyi di balik ketulusan hati dan keriangan wajah keluarga mempelai untuk menghadirkan yang terbaik bagi para tamu. Sejak kelahiran seorang bayi perempuan dalam keluarga di Asia Selatan, ayah dan ibu mulai susah payah menabung demi hari pernikahan putrinya. Menikahkan anak perempuan adalah kewajiban besar, paling tidak akan menelan dana ratusan juta rupiah. Selain untuk jehez, mas kawin, keluarga juga harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk menjamu para tamu dengan makanan yang paling lezat yang melimpah ruah.

Jehez, harga mahal yang harus dibayar untuk menikahkan seorang putri, adalah problema pernikahan di Pakistan. Keluarga pengantin perempuan susah payah memberikah jehez sebanyak-banyaknya, supaya putrinya nanti tidak menerima hinaan di rumah mertuanya. Tentu tidak ada yang salah dengan orang tua yang membekali anak gadisnya dengan perlengkapan hidup. Tetapi ketika itu menjadi ‘harga’, tuntutan dari pihak keluarga pria dan harga diri bagi pihak keluarga wanita, banyak gadis miskin yang tak mampu menikah.

Jehez mulai dari ranjang, kasur, bantal, lemari, televisi, DVD, oven, sampai mobil, sepeda motor, lemari es. Ironis, di negeri di mana sebagian besar rakyatnya menenggak air tercemar dan kurang gizi, orang malah memboroskan jutaan Rupee hanya demi martabat. Peraturan pemerintah Pakistan menetapkan batasan maksimal jehez 50.000 Rupee, atau sekitar 900 dolar. Tetapi peraturan ini hanya sekadar formalitas regulasi. Kalau pun dijalankan di tengah masyarakat yang masih belum sadar, yang menderita masih tetap pengantin wanita. Tidak layaknya jehez sesuai yang dituntut keluarga suami sampai menyebabkan kasus penganiayaan, pemerkosaan, sampai pembakaran istri.

Demikian pula acara pernikahan di Shadi Hall yang menjadi tanggung jawab keluarga pengantin wanita. Kultur keramahtamahan Pakistan membuat orang bangga tak kepalang jika sanggup memberikan yang terbaik buat para tamu. Acara shadi menelan biaya dengan angka fantastis, terlebih lagi di negara yang pendapatan rata-rata penduduknya setahun hanya sekitar 600 dolar. Keluarga miskin tak sungkan-sungkan meminjam dari tetangga demi menyelenggarakan acara pernikahan putrinya yang mewah. Semakin banyak meminjamnya, semakin besar pengorbanannya, semakin bangga mereka.

Peraturan pemerintah ini bertujuan untuk mengurangi kemewahan acara pernikahan, pemborosan uang untuk hal-hal yang tak perlu. President Musharraf melarang pesta kembang api, lampu neon yang berlebihan, dan jumlah tamu lebih dari 200 orang.

Pernikahan memang sederhana, tetapi cukup membosankan. Setelah menunggu tiga jam, para tamu yang keroncongan cuma disuguhi sekotak makanan berisi  tiga iris kue, roti, dan sebotol minuman ringan.

Dalam bahasa Inggris dengan huruf merah dan besar, di atas kotak putih itu tertulis:
Selamat datang, tamu-tamu yang kami hormati dan muliakan, dalam acara pernikahan:
Putri dari M. Shafi Khan
dengan
Dr. Tariq Iqbal Afridi

Bahkan nama pengantin perempuan pun tak cukup layak untuk dicantumkan.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com