Sesekali ada dari kalangan penonton yang berdiri, meneriakkan seruan Narai. “Narai takbir....!” dan ribuan orang berseru serempak, “Allahuakbar!!!”. Teriakan “Narai Risalat...!” disambung seruan “Ya Rasulullah!!!” Teriakan “Narai Haidri” disambut dengan kompak, “Ya.... Ali!!!”
Histeria ini terkadang membuat orang lupa akan rohnya. Seorang pria yang duduk di panggung sampai hilang kesadaran, berteriak-teriak seperti kesurupan. Ia tak bisa berhenti, tak bisa bicara. Hanya berteriak hebat dengan tubuh kejang.
Setiap penampilan naat berakhir diselingi dakwah. Kemudian dilanjutkan lagi dengan pelantun naat berikutnya. Semua pelantun naat ini bersurban dan berjenggot lebat, mengenakan jubah atau salwar kamiz. Menurut sang guru Owais Qadri, naatkhwan tidak boleh melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan Sunnah Rasul seperti misalnya mencukur jenggot dan berpakaian tak pantas. Naatkhwan juga harus berhati-hati dengan syairnya, tak boleh menyebut cinta terhadap Rasul ataupun hal-hal yang tidak sesuai Qur’an dan Syariah. Setiap kata harus dicek kebenarannya. Naat memang bukan sekadar seni tarik suara biasa, ia adalah ibadat. Demikian pula dengan penonton. Setiap lambaian dan gerakan badan harus muncul dari dasar hati, bukan karena overacting ingin disorot kamera.
Naat adalah ibadah. Itulah sebabnya setiap kali saya kesleo lidah menyebut naat sebagai lagu atau pertunjukan musik, kawan-kawan saya langsung mengoreksi, cepat-cepat diikuti gerakan menempelkan telunjuk ke daun telinga kiri dan kanan berulang-ulang, seraya berujar, “taubah... taubah...”
Hingga akhirnya, sang bintang pun muncul ke panggung, mengenakan jubah putih panjang, jenggotnya hitam lebat. Kedatangan pria bertubuh besar ini disusul kericuhan ribuan orang yang ingin melihatnya dari dekat, menggapai tubuhnya seakan percaya akan keberuntungan akan menular hanya dengan menyentu, menciumi tangan dan kaki sang pujaan. Ketika Owais Qadri menaiki tangga, seorang pria berusaha dengan keras menyalami dan menciumi tangan Owais. Tak disangka, Owais melemparkan orang itu, dan ia sendiri hampir jatuh dari tangga. Fanatisme terhadap sang idola naat ini begitu besar sampai suasana hampir tak terkontrol lagi.
Owais dengan elegan duduk bersila di panggung. Semua naatkwan melantunkan naat dalam posisi duduk, memegang mikrofon, sendirian di baris paling depan. Di belakangnya ada barisan pria berjenggot, bersurban, dan berkerudung – serba putih. Juga pelantun suara latar belakang. Tak ada alat musik dan tepuk tangan seperti halnya pertunjukan qawwali.
“Ya Rasulullah.....” suara Owais panjang mendenting, “Ya ..... Habibullah....” Suaranya begitu jernih, tarikan nafasnya panjang dan kuat. Ribuan orang yang mendengarnya terhanyut, tubuh mereka terombang-ambing oleh dahsyatnya keindahan naat. Beliau melantunkan naat andalannya, “An Nabi Sallu Alaih...Salawwatullah Alaih...Wayanlul barakat kulumansulle Alaih...”. Pelantun latar tak henti-hentinya menyebut Allahu, diucapkan “Allah huh, Allah huh, Allah huh,” dengan ‘huh’ dibunyikan berdentum-dentum seperti penyanyi akapela, cepat dan berirama.
Syair naat adalah peraduan bahasa Arab dengan Urdu. Dalam penampilan An Nabi Sallu Alaih bagian bahasa Urdu menyebutkan bahwa miliaran doa dilimpahkan kepada Nabi, yang menjadi cahaya terang kesucian dan pelindung dari segala bala bencana. Satu penampilan naat bisa berlangsung sampai 20 menit tanpa jeda. Naatkhwan dituntut punya pita suara yang teramat kuat.
Ribuan penonton menjadi lautan manusia yang bergelombang. Lambaian tangan, bendera, gerakan tubuh manusia yang duduk bersila. Mereka sama sekali tak sadar, jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Mereka hanyut dalam kebahagiaan spiritual, seperti orang yang terpuaskan lapar dahaganya.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!