Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (180): Heera Mandi (2)

Kompas.com - 14/04/2009, 08:32 WIB

Bintang berkelip-kelip di langit kelam. Kubah-kubah megah Badshahi Masjid tampak berkilau diterangi lampu warna-warni.

          “Aku mau lihat ‘itu’-mu,” kata Jawad tiba-tiba, mengagetkan. “Berapa ukurannya? Boleh aku pegang?”

Saya mencoba mengalihkan pembicaraan mengenai sejarah dan kehidupan Heera Mandi, sebelum ia melangkah terlalu jauh.

           “Kamu bukan jurnalis kan? Bukan penulis kan? Jangan coba-coba memotret siapa pun di sini, jangan tanya macam-macam dengan orang mana pun di sini.”

Jawad duduk di sebelah saya. Tangannya mulai meraba-raba. Sambil mewawancarai saya harus sibuk mengembalikan tangan nakal Jawad ke tempat semestinya.

           “Tempat ini memang rumah untuk bercinta,” katanya.

Putri-putri perempuan tua itu tadi adalah pekerja seks. Jawad mengaku membawa saya ke sini untuk ‘jajan’.

          “Tetapi aku bukan germo,” tegasnya, “maksudku, kalau kamu bisa dapat harga istimewa. Kamu bayar 1000 Rupee, saya 500 Rupee, kita bisa patungan untuk dapat satu gadis.”

Lebih mahal daripada harga rata-rata yang saya tahu. Untuk pertunjukan erotis, biasanya 300 sampai 400 Rupee. Untuk hubungan seksual kisarannya 800 Rupee. Yang paling mahal adalah gadis perawan, sampai ribuan Rupee. Tempat gelap dan kotor ini adalah lembah hitam di mana para gadis mengoyak mahkota keperawanan mereka demi sekadar berapa lembar uang Rupee. Mimpi-mimpi digantung ke langit yang kelam, bersama desahan kesakitan dan derik charpoy, di atas tubuh berbulu lelaki hidung belang. Hari-hari berikutnya, mereka adalah tubuh-tubuh terpenjara dalam kebahagiaan maya di Heera Mandi, berkawan dengan penyakit nista dan cibiran orang.

Jawad adalah salah satu lelaki yang rajin mengunjungi kawasan ini. Saya merasa aneh sekali dengan pria ini, yang tangannya rajin sekali menjamah. Sekarang tanpa tedeng aling-aling ia meminta saya untuk membuka baju, karena ia ingin ‘memeriksa’ lebih jauh. Apalagi yang mau diperiksa? Jawad bukan dokter. Saya tidak mau tubuh saya dipegang-pegang oleh pria tak jelas asal-usulnya ini.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com