Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (188): Bahauddin Zakariya Express

Kompas.com - 24/04/2009, 09:06 WIB

Yang umur satu tahun terpejam pulas dalam pelukannya. Dua bayi yang lain berpelukan bak malaikat tanpa dosa di bawah kaki saya. Terpaksa saya duduk berjam-jam dengan menjinjing kaki tinggi-tinggi sepanjang perjalanan.

Dengan sebegitu banyak bawaan, perempuan ini cuma punya satu karcis. Petugas kereta marah-marah.

          “Saya cuma punya 50 Rupee,” ratap wanita ini, menatap sayu bayi-bayinya yang tergeletak di mana-mana.

Malam semakin suntuk. Orang-orang pun beranjak tidur. Di negara di mana pria dan wanita selalu terpisahkan, tidur pun ada aturannya. Seorang wanita penumpang tidur di atas dipan. Suaminya dengan penuh kasih sayang memasang kelambu dari selimut tebal berwarna hitam. Panasnya Punjab, yang malam pun masih menyengat, harus ditambah dengan selimut tebal untuk menutup aurat. Pokoknya tidak sampai terlihat laki-laki lain.

Tak ribet seperti penumpang lain yang masih sempat berpikir tentang norma agama, si perempuan miskin dengan empat bayinya tidur begitu saja di lantai. Semua bayinya lelap. Tetapi terkadang menangis meraung-raung, ketika kereta lambat kami berpapasan dengan kereta lain, yang anginnya dan getarannya membuat seluruh gerbong terguncang-guncang dahsyat.

Bayi-bayi yang tidur bak malaikat manis itu ternyata menjelma menjadi setan-setan kecil di pagi hari. Ketika matahari mulai membilas sudut-sudut gerbong, si bocah tiga tahun berbaju merah langsung kumat semangatnya: melompat-lompat, menumpahkan jus, menangis, minta jus lagi, dan seterusnya. Gadis empat tahun mengupas pisang dengan tak sabaran seperti orang menyobek-nyobek kertas. Alhasil potongan-potongan kulit pisang dengan berbagai bentuk dan ukuran bertebaran di lantai.

Bayi yang lain menumpahkan seluruh isi perutnya. Muntah-muntah hebat. Si ibu, dengan mengumpat-umpat karena diomeli penumpang lainnya, akhirnya terpaksa membersihkan lantai yang semakin kumuh karena ulah anak-anaknya.

Kereta Bahauddin Zakariya Express merapat di kota kuno Hyderabad, kota terbesar kedua di provinsi Sindh, di ujung selatan Pakistan. Sepuluh jam perjalanan yang menyiksa, karena saya harus merangkul tas ransel saya rapat-rapat sepanjang jalan, duduk tegak di atas kursi keras, dengan kaki yang terus terangkat karena bayi-bayi tertidur lelap tepat di bawah.

Saya menghela nafas lega, karena perjalanan ini berakhir sudah.. Sementara ibu dan empat anaknya yang terus rewel terbawa gemuruh Bahauddin Zakariya Express yang terus berlari menuju Karachi.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com