Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (192): Padang Pasir

Kompas.com - 30/04/2009, 08:58 WIB

Mobil jeep kami langsung disambut dengan teriakan suka cita wanita-wanita yang berpakaian seratus warna, plus anak-anak kecil yang berlari-lari riang. Tak ada laki-laki sama sekali yang tertinggal di desa. Semua pria sedang bekerja ke luar, kemungkinan besar mencari air dan menggembalakan ternak (di tengah gurun luas yang rumput pun tak nampak).

Mumtaz memberi penyuluhan. Wanita-wanita desa semua berkumpul dalam sebuah gubuk. Mumtaz duduk di tengah-tengah, seperti guru suci yang dikelilingi umatnya. Bahasa Urdu Mumtaz tidak terlalu bagus, tetapi di lingkungan kerja seperti ini, bahasa Urdu memang tak berguna.. Penduduk pedalaman gurun ini tak ada yang berbahasa Urdu. Bahasa Sindhi pun mereka cuma bisa sedikit-sedikit. Mereka berbicara dialek gurun, yang mirip bahasa Marwari, dan kebetulan Mumtaz memang jagonya.

Wanita-wanita Hindu di desa ini senang sekali dipotret. Tidak bersembunyi apalagi marah-marah seperti biasanya perempuan Muslim di Pakistan. Nenek-nenek pun ikut berebutan bergaya di depan kamera, dengan kaca mata kuno yang ekstra cembung dan super besar. Gelang-gelang yang menutupi sepanjang lengan mereka, bergemerincing mengiringi ledakan tawa dan kegembiraan.

Tetapi kemudian nenek tua membisiki Mumtaz, menyampaikan kekecewaannya, “tukang potret ini pasti cuma main-main saja. Masa dari tadi cuma prek-prek terus, kenapa tidak ada chulka-chulka?” Yang dimaksud prek-prek adalah bunyi jepretan kamera, sedangkan chulka adalah kilatan blitz. Yang dari tadi ditunggu-tunggu memang cuma kilatan lampu blitz-nya saja.

Wanita-wanita Hindu dari desa Wasayo Bheel, sama kering kerontangnya seperti Soomon Bheel, malah kebalikannya. Mereka berteriak histeris tidak mau difoto, karena takut potret-potret modeling mereka akan menghiasi hotel dan restoran di seluruh penjuru dunia. Sambil mengucapkan kata ‘modeling’, perempuan desa berkulit gelap ini berkacak pinggang dengan tangan kirinya dan meletakkan tangan kanannya di kepala, berpose bak supermodel kelas dunia. Mumtaz tergelak.

          “Hah, kamu tidak cantik-cantik amat untuk jadi poster di hotel dan restoran. Foto kamu nanti cuma untuk ditaruh di kantor saja.”

Betapa lugunya orang-orang ini. Tetapi sore itu saya melihat potret wanita-wanita dengan pakaian warna-warni dan perhiasan mencolok sekujur tubuh, benar-benar menghiasi halaman utama koran Dawn. Mereka berdemonstrasi di Karachi, memegang spanduk bertuliskan “Jama’at-ud-Dawa Penyelamat Kami”

Headline hari ini tentang demonstrasi minoritas Hindu dan Kristen yang menentang keputusan Amerika Serikat memasukkan Jama’at-ud-Dawa ke dalam daftar orgranisasi teroris. Disinyalir, Jama’at-ud-Dawa adalah jelmaan Lashkar-e-Toiba, gerakan militan terlarang yang terkenal dengan aksi-aksi berdarahnya. Organisasi ini kemudian berkamuflase menjadi gerakan sosial yang membangun sekolah dan sumur dan membagikan makanan dan barang-barang bantuan di tempat-tempat terpencil seperti gurun Thar, dan Amerika mencurigai adanya agenda terselubung.

          “Wanita-wanita desa ini bahkan tidak bisa baca tulis,” kata Om Parkash Piragani, “mereka hanya diperalat untuk ikut berdemonstrasi tanpa tahu apa artinya.”

Saya terus memandangi barisan wajah-wajah perempuan lugu, polos, dan kosong tanpa ekspresi, dalam potret itu. Mereka memegang spanduk-spanduk yang sangat mungkin mereka pun tak bisa baca. Orang-orang miskin dari suku minoritas di pedalaman ini pun sudah menjadi komoditas politik yang atraktif.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com