Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (197): Menanti Mimpi Menjadi Nyata

Kompas.com - 07/05/2009, 08:17 WIB

Truk tua ini disebut kekra. Warnanya hijau dengan bak terbuka bercat kuning. Kacanya sudah pecah. Bempernya sudah bobrok. Tetapi truk buatan Pakistan ini masih tangguh, dibuat khusus untuk medan berat macam padang pasir ini. Kekra memang bandel. Walaupun wajahnya sudah nyaris hancur seperti peninggalan Perang Dunia II, tetapi masih sanggup melintasi gundukan-gundukan pasir halus di Thar, mengangkut manusia dan hewan-hewan dari pedalaman gurun. Sekarang ia adalah raja padang pasir, menggantikan unta-unta yang semakin kurus dan sayu.
 
Bocah-bocah Ramsar berlari riang menyambut truk tua berhiaskan pernak-pernik cantik ini. Semua berlari, melompat-lompat, bersorak sorai, memanjati kendaraan kuno ini. Dari dalam kekra turun dua orang tukang, pewujud mimpi yang sudah lama dinanti-nanti dalam hidup yang selalu datar.

Kekra membawa tanker, menumpahkan air yang menyembur dahsyat dari pipa besar. Air itu ditampung dalam sebuah kolam di pinggiran desa. Pemerintah Pakistan menjanjikan akan membangun sebuah gedung sekolah di desa ini. Pondasi sudah disiapkan. Sekarang penduduk desa berdatangan, membantu dan menyambut para tukang yang datang dari kota ini. Selain air, masih ada batu-batuan dan semen yang harus diturunkan dari truk.

Saya kagum dengan pemerintah negara ini, yang sampai membangun infrastruktur di tempat paling terpencil seperti ini. Saya sering melihat gedung-gedung sekolah di desa-desa yang berpencar di padang Thar. Umumnya masih baru, kursi-kursi kayunya masih tak bergores. Tetapi sekolahnya kosong melompong, karena tak ada guru dan tak ada murid.

Guru-guru dari kota malas datang ke sini. Yang menjadi guru biasanya warga setempat, seperti Jamal, yang pendidikannya pun tidak tinggi. Murid nyaris tidak ada, karena walaupun gratis, banyak orang tua tak mengizinkan anaknya ke sekolah. Saya teringat waktu mewawancara seorang warga gurun yang tidak menyekolahkan anaknya, si kakek dengan penuh semangat berkhotbah, “Kami ini buta huruf! Kenapa anak kami harus jadi pintar? Mereka harus jadi seperti kami! Mereka harus seperti nenek moyangnya!”

Apa artinya gedung sekolah tanpa guru dan murid? Alhasil, gedung-gedung itu malah menjadi tempat nongkrong para pria desa yang tak punya pekerjaan selain membuang waktu dan menelan butir-butir pasir.

Mereka hanya menanti mimpi, menantikan uluran tangan dari luar yang akan mengubah garis hidup mereka. Tetapi ketika kesempatan itu datang, mereka pun masih tak tahu harus berbuat apa. Jalan menunju mimpi indah itu memang masih terlalu panjang.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com